Jakarta, Lontar.id – Di kontrakan kami bersama teman-teman di daerah Jakarta Selatan, tak hentinya saya bersyukur kepada Pasukan Oranye karena membuat lingkungan yang kami tinggali tetap bersih.
Setiap pagi, mereka datang. Kadang membawa mobil sampah, kadang berjalan kaki sambil membawa sampah besar serta sapu lidi yang punya gagang kayu tebal. Sampah-sampah diangkutnya.
Datangnya juga tak sekali. Biasanya, setiap sore ia juga masuk ke dalam lingkungan rumah kami. Bukan lagi menyapu seperti saat pagi, namun mengambil sampah saja di tempat-tempat yang sudah tersedia.
Makanya saya sudah tak heran saat kerusuhan 22 Mei di MH Thamrin dan di jalan-jalan yang terdampak, sampah dan kotoran-kotoran yang berhamburan di jalanan, cepat dibersihkan agar tidak mengganggu pengendara.
Andai saya menjadi Pasukan Oranye barangkali saya akan sangat kesulitan menjalaninya. Bukan apanya, menyapu dan mengepel satu rumah minimalis saja, pinggang saya sudah sakit.
Andaikata saya juga diberi kesempatan untuk wawancara dengan satu saja Pasukan Oranye, saya pasti akan bertanya, bagaimana caranya membersihkan lingkungan atau rumah dengan baik?
Sama seperti pertanyaan-pertanyaan calon penulis yang kerap bertanya kepada penulis, yaitu bagaimana cara menulis yang baik? Tetapi mungkin saja Pasukan Oranye itu akan menanggapinya dengan bercanda.
Saya pernah membuka obrolan dengan mereka. Tetapi mereka sangat fokus bekerja dan menjawab pertanyaan secara tepat dan singkat. Jiak seperti kuis, ia barangkali sudah juara.
Saya pernah ingin memberinya uang terima kasih, karena mengambil sampah-sampah dapur yang sudah lama diendapkan, akibat kami bangun selalu kesiangan dan tak sempat menemuinya pada pagi hari.
Sampah-sampah itu membuat kantong kresek besar khusus sampah, menggembung penuh. Syukurnya, ia tetap menerimanya. “Tidak usah Bang.” Ia berkali-kali menolak upaya saya untuk memberinya uang.
Makanya saya tidak sepakat jika ada yang merendahkan pekerjaan mulia seperti yang mereka lakukan. Sebab kepada siapa kita mau berharap jalan-jalan di Jakarta bersih?
Memang masyarakat pekerja kantoran; pemuda-pemuda perusuh; polisi-polisi itu mau? Saya yakin tidak. Makanya yang masih memandang rendah pekerjaan ini, mungkin ada baiknya mengoreksi diri.
Omong-omong soal Pasukan Oranye, asda satu kisah menarik dari seorang Sellha Purba, perempuan yang berusia 21 tahun. Ia bekerja sebagai Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di Kelurahan Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara.
Ia sempat malu bekerja sebagai Pasukan Oranye. Saking malunya, ia memakai masker, tutupan leher dan lain-lain. Tak mau dikenali. Tapi sekarang nggak, sudah biasa. Sudah nyaman banget.”
Dalam wawancara Detik, ia mengaku kalau pekerjaan ini awalnya dia jalani karena putus asa usai tak kunjung mendapat pekerjaan setelah lulus SMA.
Membayangkannya bekerja membuat hati saya gampang diserang lindu. Bergetar, meski tidak kuat amat. Misalnya saat membersihkan daerah bekas kerusuhan dan saling timpuk itu.
Mereka membersihkan sepanjang jalan Thamrin yang sudah sangat kotor dan buruk. Banyak batu besar yang berserakan ditambah ampas mercon, saya kira adalah hal yang sulit dibersihkan.
Batu-batu itu tidak mudah untuk disapu, seperti plastik kemasan bekas minuman. Lalu bagaimana caranya ia menyapu dan membersihkannya sampai tuntas? Entahlah, saya cuma takjub saja.
Lebih dari itu, etos kerjanya patut ditepuktangani. Saat udara di sekitar Tanah Abang masih berkabut akibat semprotan gas air mata, mereka tetap mau membersihkan puing kerusuhan.
Mereka datang dengan wajah yang dicoreng dengan odol agar dampak gas yang memerihkan mata tidak begitu terasa. Sungguh sebuah persiapan yang benar-benar total pada bulan Ramadan kali ini.
Hari ini mungkin mereka sudah menerima Tunjangan Hari Raya dengan dua kali gaji. Gajinya disebut cukup lumayan yakni Rp 3.648.035 per bulan.
“Mereka dapat upah ke-13 yang diterima setiap menjelang hari raya,” kata Kepala Biro Tata Pemerintahan DKI, Premi Lasari, dikutip dari Detik.
Ia juga mendapatkan asuransi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang dibayarkan oleh Pemprov DKI. Apakah mereka aman? Belum. Mereka masih terikat kontrak selama setahun.
Bila ada pelanggaran, kontrak mereka bisa diputus melalui mekanisme surat peringatan (SP) 1, 2, dan 3. Dari data Premi lagi, mereka ada 40-70 orang di tiap kelurahan, tergantung kebutuhan per kelurahan.
Pasukan oranye bekerja bergiliran (sistem shift), satu shift-nya selama delapan jam. “Mereka bekerja tanpa uang lembur,” kata Premi. Itulah kenyatannya.
Pada akhirnya, saya mendoakannya saja dari jauh, agar hidupnya selalu dilimpahi keberkahan dan diberi rasa syukur di hatinya. Itu THR yang pas buat mereka dari saya.
Selamat berlebaran para Pasukan Oranye.