Hentikan ekspektasi berlebihan pada timnas. Mereka harus dibawa ke jalan yang sepi.
Jakarta, Lontar.id – Timnas Indonesia U-19 era Indra Sjafri, pada tahun 2013, sukses dibawa menjadi jawara pada AFF 2013. Rakyat Indonesia kemudian melihat secercah harapan pada anak muda ini. Masih biru.
Kita semua atau jika ingin menolak, cukup aku saja, kemudian mendabik dada kalau anak asuh Indra Sjafri lebih baik dari timnas senior. Dari sini, bibit-bibit melibas sesama anak bangsa dipupuk terus-menerus.
Pertanyaannya, mengapa aku harus membandingkan mereka dengan seniornya? Kenapa aku tidak mau membandingkan mereka dengan negara lain, sembari berpikir, siapa lagi negara tetangga yang harus dikalahkan dalam kompetisi.
Pikiranku pernah sedemikian brutal begitu. Lalu lama-kelamaan aku berpikir, kayaknya aku salah, deh. Kok berlomba menjadi hebat, untuk mengalahkan dan mempermalukan timnas senior sendiri?
Aku mengingat benar, sewaktu 2013, timnas diarak seperti anak raja yang tak boleh kakinya tersentuh di tanah. Ia benar-benar ditinggikan, padahal semuanya belum apa-apa dan perjalanan baru dimulai. Bak mendirikan usaha, mempertahankan itu yang susah.
Yang kulihat mayoritas masyarakat begitu membanggakannya. Mengelu-elukannya. Gaya permainan, kemampuan seluruh pemain benar-benar membius. Masyarakat memang sedang rindu dengan permainan ciamik dan gelar juara.
Awalnya ini terlihat seperti kondisi yang memang benar. Aku membiarkannya saja. Sampai pada suatu ketika, semua harapan-harapan kita semua luntur. Misekspektasi. Menyedihkan.
Semua infotainment di Tanah Air mengulas Garuda Muda saat itu. Baik dari segi semangatnya, apa kiat-kiatnya agar menjadi jawara, dan hal-hal yang tak ada gunanya untuk diketahui sama sekali.
Pemain timnas kita juga jadi sasaran perusahaan untuk dijadikan ambasador iklannya. Misal, mengangkat gelas yang minumannya hampir tumpah saking semangatnya. Tangannya juga dikaku-kakukan agar terlihat enerjik dan kuat.
Tidak ada yang salah. Tidak ada sama sekali. Itu adalah rezeki orang-orang yang mau berusaha. Lagipula, timnas kita ini baru saja dikagetkan dengan publikasi yang menggebu-gebu, jadi, ya mau diapa, terpaksa dimanfaatkan, toh.
Usai juara itu, tak hanya iklan dan infotainment yang mendatanginya. Fans-fans cilik dan orang tua juga berdatangan. Minta foto, dipuja-puja, dan dianggap sebagai malaikat yang turun dari langit ketujuh. Mereka berteriak, inilah andalan kami. Inilah cahaya dari Asia di dunia sepakbola.
Lalu masyarakat kita ini, percaya saja dengan timnas kalau mereka seng ada lawan. Permainannya saja bisa semencengangkan itu. Pepepa, pendek-pendek panjang, singkatan yang dibuat oleh Indra Sjafri.
Aku toh yakin jika tidak ada penonton yang mencintai timnas, yang menyebut anak asuh Indra itu tidak aduhai, sebelum dibombardir berita-berita cepat yang tak berhubungan dengan olahraga. Kita semua tahu kalau negara ini berkualitas.
Tetapi ada pesan tersirat dari Si Mbah Nun, kalau cantik itu tidak kelihatan, yang kelihatan itu wajah. Jangan percaya kepada wajah-wajah yang nampang di baliho-baliho dan iklan-iklan. Kita harus lebih berpedoman kepada yang tidak kelihatan. Kita harus mengandalkan kepribadian, bukan pencitraan.
Hinga akhirnya…
Aku atau kita makin merasa kalau manusia-manusia dalam timnas kita berubah. Aku asing dengan mereka semua. Mereka bukan lagi yang kukenal di televisi dulu. Mereka bukan lagi yang kukenal di iklan-iklan minuman penguat.
Mereka kok jadi gampang kalah. Gampang dibombardir pertahanannya. Permainan mereka begitu mudah terbaca. Melempem sekali timnas kita setelah melewati ingar-bingar keramaian informasi.
Sebenarnya apa yang salah? Mau dipikir kekuatan mereka menurun tidak juga. Mau dipikir pemain ogah-ogahan tidak. Mau dipikir Garuda Muda terlalu memandang enteng lawan juga tidak.
Apalagi menyambungkannya dengan pengaruh media yang membuatnya bergabung dalam keramaian dunia, tentu saja tidak mungkin. Tidak ada hitungan eksakta yang bisa mengukurnya.
Teruntuk timnas dan Pak Indra Sjafri, tidak ada yang bisa mengindentifikasi kalau kalian sedang dirugikan dan dilemahkan sebuah sistem yang disebutkan tadi. Cuman kalian yang tahu isi rumah kalian.
Aku dan mungkin masyarakat lainnya cuman takut kalau skuat U-22 ini ketularan ketidakmujuran pendahulu-pendahulunya di U-19 seusai juara AFF 2013, melalui beberapa faktor kemungkinan pelemahan yang aku sebutkan di atas.
Apalagi media memberimu inti waktu untuk tampil di sebuah tempat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sepakbola, yakni acara musik. Aku takut kalian berbangga diri dan melupakan masa lalu, kalau kalian pernah mencecap pahit dimaki karena kalah.
Menepilah. Berjalanlah sendiri di tengah badai ketidakpastian. Lawan-lawan kalian selanjutnya sedang menanti kalian melemah. Berlatihlah untuk mengerdilkan diri di hadapan sumber kekuatan dan tempuhlah jalan sunyi. Hingga tak ada lagi yang bisa merendahkan kalian.
Berbangga diri itu melemahkan, sebab iblis terlempar dari surga karena kesombongannya tak mau tunduk di hadapan manusia pertama. Kata mereka ia tercipta dari api, dan lebih baik dari orang yang muasalnya tanah.
Jangan sampai kalian kira, yang jarang diliput media adalah mereka yang lemah. Yang jarang masuk iklan minuman energi, tidak punya kekuatan untuk menumbangkan kalian. Yang hanya sedikit pendukungnya, tidak kuat, karena tidak ditopang suara massa di stadion?
Sesungguhnya kesunyian dan kerendahatian yang bisa menyelamatkan kalian sekarang. Karena keramaian, dari sejarah usang kita, tidak akan bisa bertahan lama. Jangan terlena.