Lontar-id – Sebelum mempelajari banyak teori, saya pernah nyinyir dan mengatai orang yang tulisannya semua disangkutkan dengan teori. Bahkan ngobrol biasa saja pasti ngomongnya sangat teoritis. Semua nama tokoh filsuf/pemikir disebut, mulai dari strukturalis sampai post strukturalis. Mulai dari tokoh feminis gelombang I sampai feminis gelombang-gelombang tak terhingga.
Saat bertemu dengan teman-teman yang seperti ini, saya akan lebih dulu memojokkan mereka. Dalam hati saya berkata, “pasti mereka cuman tahu teori, tapi nol aplikasi.” Atau, saya akan bilang begini, “pasti karena pengen terlihat keren dengan menyebut nama tokoh-tokoh dari luar, paling mereka nggak punya kepekaan sosial”. Hal yang sama terjadi ketika membaca tulisannya, dalam hati saya pasti berkata, “tulisannya kaku banget, nggak enak dibaca.”
Namun, semua aggapan itu berubah drastis, hampir 360 derajat ketika saya lanjut S2. Secara tidak langsung, saya harus bahkan hukumnya wajib mu’aqqat untuk saya mempelajari banyak teori. Coba saja tidak belajar teori, ujung-ujungnya pasti disuruh pulang kampung karena semua nilai ternyata eror.
Wasangka, setelah belajar beberapa teori, baik dari sumber utamanya langsung maupun membaca tulisan pemikir yang memformulasikan gagasan-gagasan para filsuf, saya jadi seperti mereka – yang saya nyinyiri di awal. Saat berbicara dan menulis, saya cenderung ingin menyebutkan nama-nama filsuf dan teori-teori apa yang dilahirkannya.
Rasanya memang keren, bisa menyebut nama-nama filsuf. Haha
Ada hal yang berkesan setelah membaca banyak referensi tulisan dan penjelasan dari dosen dan teman saya di kampus. Tentang bagaimana teori-teori itu lahir dan proses yang harus dilalui para filsuf sebelum menemukan gagasan-gagasannya.
Saya mulai rajin membaca dan merefleksikan teori-teori itu dalam realitas saat ini. Saya kembali mengaitkan bagaimana teori Hegemoni Gramsci bekerja dalam tren berhijrah di era modern. Bagaimana menggunakan teori komodifikasi Adorno dalam melihat identitas kelokalan yang dijadikan komoditi. Atau melihat perjalanan hidup diri sendiri melalui teori identitas Stuart Hall.
Saya bahkan seringkali berdialog dengan teman-teman yang samsekali tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi tapi bisa membabat hampir setengah dari Das kapital. Meskipun tidak merampungkan kitab Das Kapital, menurut saya itu tetap hebat. Zaman sekarang, jarang bisa bertemu orang yang baca Das Kapital secara utuh selain Fadli Zon. Jadi, sebenarnya mereka itu tidak semata-mata diproduksi oleh kampus.
Hal lain yang saya dapatkan, justru saya mulai berpikir metodelogis, meskipun tidak filsafat-filsafat amat. Dan itu menguntungkan ketika saya diminta menulis apapun. Mulai dari tulisan ringan yang ngesai sampai tulisan yang harus terindeks Scopus.
Yang terpenting menjadi orang yang peragu dan cenderung mempertanyakan segala sesuatunya. Setidaknya tidak reaktif dan impulsif lagi malove.
Hal lain lagi, saya bisa menyimpulkan orang yang suka nyinyirin orang yang suka pake teori setiap ngomong adalah orang yang justru tidak pernah mempelajarinya.