Lontar.id – Di media sosial, yang sering berselancar dan memelototi layar gawainya demi linimasa twitter, pasti kenal dengan istilah Social Justice Warrior atau SJW.
Anda bisa menganggap saya orang awam dan menganggap sudut pandang saya sebagai orang yang menyebut SJW adalah gabungan orang sakit jiwa.
SJW pada umumnya adalah orang-orang yang senang menyalurkan kritik sosial kepada hal-hal yang dinilainya bisa didekonstruksi. Pikirannya liar dan seenaknya.
Jika dibaca sekilas, memang terlihat berkemajuan. Tetapi jika dibayangkan dan disesuaikan dengan pola di lapangan, maka akan mental dengan sendirinya.
Tentu saja tidak semuanya. Ada yang berhasil diubah sedemikian rupa. Seperti amnesti Baiq Nuril barangkali atau dicabutnya remisi Susrama, pembunuh pewarta bernama Prabangsa di Bali.

Kini, kritik-kritik remeh dan terlihat spartan, telah menghajar muka para pembeli tiket yang berbondong-bondong ingin menonton pertandingan final PSM Makassar vs Persija, beberapa waktu lalu.
Ia dihajar suporter yang hebat, sebab hari ini, pertandingan PSM vs Barito Putera sepi peminat. Pertanyaan saya, memang kenapa kalau sepi peminat? Kenapa kita tidak bisa menghargai kecintaan orang sesuai momentum?
Alih-alih paksaan mereka beralasan untuk memperbesar keuangan klub. Memang kalau tidak menonton, klub bisa merugi? Kadang kala, suporter harus menyadari banyak hal.
Pertama, hari ini bukan tanggal merah. Makassar sedang macet, sepulang kerja orang harus berjibaku dengan kendaraan yang tumpah di jalanan karena jalanan dipersempit.

Anda sekalian seharusnya mewawancarai banyak orang untuk mendengar ucapannya, ihwal mengapa mereka tidak ingin menonton PSM hari ini. Risetlah kecil-kecilan. Jangan asal tumbuk saja.
Kedua, tidak selamanya orang punya uang. Mengapa harus selalu menonton PSM? Mengapa kalian ini gemar sekali menyuruh orang untuk menonton PSM? Seotoriter itukah?
Kita baru saja punya hajatan besar seperti Idul Adha. Mereka yang pas-pasan mungkin baru saja menyumbangkan hasil jerih payahnya untuk membeli hewan kurban.
Ketiga, apakah Anda mengira kalau PSM merugi jika penonton sepi peminat? Apa yang ingin kalian tunjukkan sebenarnya? Mau pamer dengan khalayak kalau Stadion Mattoanging bisa penuh seperti final pada pertandingan biasa?
Bayangkan saja, kira-kira siapa yang menjual tiket sebegitu mahalnya saat final Piala Indonesia? Mengapa tiket cepat habis? Siapa yang memborongnya? Cara apa yang dipakai pemborong itu untuk mengamankan tiket dll.

Solihin Kalla, Munafri Arifuddin dan rombongan pemain PSM saat merayakan juara Piala Indonesia di Makassar/LONTAR/Adam Said
Jika sudah dapat ke mana untung itu mengalir, apakah kalian percaya bahwa PSM tidak terciprat permainan harga dari calo? Apa yang sebenarnya ada di benak kalian dengan merendahkan orang yang tidak ingin menonton PSM?
Saya punya perasaan-perasaan yang ganjil, saat teman-teman saya menyiratkan satu kalimat yang menunjukkan dirinya kecewa dengan penonton (karbitan) PSM Makassar yang menurun drastis.
Saya memakluminya dan mencoba untuk menerima kalimatnya. Ia pedagang tiket. Organisasi butuh hidup dari untung yang tidak seperti korporasi kopi saset menarik duit orang-orang Indonesia.
Tetapi yang di luar dari itu, lantas marah dengan mimik yang menjengkelkan kepada orang-orang yang tidak ingin menonton, apakah pantas?
Saya rasa, seleb Makassar itu, yang dalam video bertelanjang dada, sedang memanjat pohon sosial dan berusaha mencapai bukit atau puncak. Rasa-rasanya ingin saya temani ngobrol: Kenapa ngomongnya begitu?

Saya bukanlah penonton setia PSM Makassar. Menyimak di stadion juga jarang. Tapi benar, saya hampir tidak pernah menjatuhkan dan merendahkan orang yang tidak nonton PSM Makassar berlaga di kandang.
Jika boleh bertanya pada pria yang bertelanjang dada itu, yang sempat bikin pernyataan dengan suara yang nyaring, saya akan sampaikan bahwa sudah berapa lama ia nonton PSM di kandang?
Jangan-jangan ia sama seperti saya: Orang yang kagetan dengan PSM Makassar. Cuma cara menyikapinya yang berbeda. Tak apalah. Jika yang membaca tulisan ini tahu orangnya, tolong sampaikan padanya.
Mendorong Perdamaian
Daripada mendorong orang untuk menonton pertandingan di stadion dengan bahasa yang tajam. Ada baiknya, mungkin, kita bisa mendorong manajemen PSM untuk mengglorifikasi perdamaian antarsuporter.
Toh, kita baru saja tahu, basecamp Gue PSM, belum lama ini diserang sekelompok orang yang mungkin tak dikenal, mungkin The Jakmania, mungkin oknum–mungkin, mungkin dan mungkin.
Mengapa yang menonjol hanya kemarahan di media sosial? Lalu marahnya terlihat manipulatif sebab memakai akun anonim atau pseudonim. Mengapa kita menjadi pemarah sekaligus penakut secara bersamaan?
Marah adalah manusiawi. Apalagi seorang korban atau dua pihak yang sudah dibakar emosinya, dengan akun-akun baru kemarin, yang tak suka melihat keakuran.

Yang mengherankan adalah, tidak adakah juru selamat yang hadir di antara api yang berada di Makassar atau Jakarta atau daerah lain yang turut mengurus konflik suporter?
PSSI yang kita tahu bersama hanya mengurus teknis dan blablabla soal klub-klub dan pertandingan. Sedangkan klub, mengurus blablabla dan apa guna suporter itu? Mesin pendulang uangkah?
Heran saja, karena sampai sekarang perkabungan untuk suporter dikalah banyak dengan ujaran kebencian dan informasi betapa besarnya sebuah klub serta sejarahnya. Sehari-hari, hidup kita hanya diisi informasi macam itu.
Jika memang tugas kita hanya itu, betapa buruknya peradaban kita menonton sepak bola. Sematan kalimat seperti, “Hadeh, Indonesia, gak heran deh sepak bolanya gak maju-maju.” Terdengar biasa. Apa mungkin kalian suka dengan kalimat itu? Jika iya, sebaiknya periksa jiwa kalian ke psikiater.