Minggu pagi di awal Juni 2020, sepetak lahan di kawasan Kota Harapan Indah, Bekasi, mulai ramai dikunjungi. Dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang berlaku di masa pandemi, sekumpulan orang itu tengah sibuk mengolah lahan yang sudah ditanami berbagai jenis sayuran.
Kegiatan berkebun di akhir pekan ini adalah rutinitas yang selalu dilakukan oleh komunitas Bekasi Berkebun.
Matahari baru mulai meninggi saat saya menemui Winartania dan kawan-kawan komunitas Bekasi Berkebun. Dibantu dengan seorang kawannya, wanita yang lebih akrab disapa Wina itu tengah sibuk mencampur media tanam, memilah bibit selada merah, lalu memindah-tanamkannya menggunakan bekas cangkang telur yang sudah dibersihkan.
“Bibit selada ini umurnya sudah dua minggu. Supaya pertumbuhannya lebih maksimal, jadi kami pindah-tanamkan ke tempat yang lebih luas setelah disemai,” jelas Wina.
Sejak 2012 silam, Wina dan beberapa kawannya mulai menginisiasi komunitas Bekasi Berkebun. Sebuah gerakan kolektif yang awalnya tumbuh melalui jejaring media sosial, lalu terealisasi nyata dengan menyebarkan semangat peduli lingkungan dan perkotaan.
Saya menemui Wina dan kawan-kawannya di sebuah lahan tidur, yang kemudian dimanfaatkan oleh mereka untuk menjadi lahan pertanian/perkebunan yang lebih produktif.
Rasa penasaran dan kegagalan tanam yang dialami selama beberapa tahun, tak membuat Wina menyerah untuk terus belajar berkebun. Melalui komunitas yang diikutinya, ia mempelajari banyak hal dan saling bertukar ide dengan kawan-kawan di komunitas. Hingga akhirnya, di 2014, ia justru mulai berbisnis dari hasil kebunnya sendiri.
“Waktu itu aku bikin jus-jus sayuran, terus suka posting di sosmed. Setelahnya, teman pada nanya. Akhirnya aku bikinkan, dan mereka mulai pesan. Selain jus sayuran, bikin teh Telang juga, sama salad juga. Jualannya via online, via medsos,” Wina bercerita.
Di masa pandemi seperti sekarang, aktifitas berkebun Wina justru tidak menurun. Ia malah semakin giat menanam. Kekhawatirannya akan krisis pangan menjadi salah satu alasannya tetap berkebun di kala pandemi.
“Ya khawatir sih, apalagi sekarang kita susah mau ke mana ke mana, distribusi juga terhambat. Jadi, mau tidak mau kita harus mulai untuk berkebun, mandiri pangan dari rumah,” tuturnya.
“Kalo misalnya perlu, sewaktu-waktu bisa metik, kan. Sebenarnya itu juga enggak susah nanamnya, jadi bisa dicoba. Apalagi dari sisa-sisa dapur itu bisa banget dimanfaatkan. Kaya jahe yang udah tumbuh tunasnya gitu, itu bisa ditanam langsung.”
Menanam menggunakan air
Hampir sama dengan Wina, Linda, seorang ibu tiga orang anak juga memulai upaya kemandirian pangan di rumahnya, di Depok, Jawa Barat.
Budidaya menanam yang dilakukan Linda sedikit berbeda, ia menggunakan metode menanam menggunakan air yang bernutrisi, atau lebih dikenal dengan hidroponik.
Beberapa perangkat hidroponik ia bangun di pekarangan rumahnya. Dari situlah, ia memenuhi kebutuhan sayur-mayur bagi keluarganya di rumah.
Berawal dari kegiatan seminar yang ia ikuti di pertengahan 2017, Linda mulai mencari informasi mengenai sistem tanam hidroponik. Dengan modal awal sebesar Rp300 ribu untuk seperangkat alat dan benih, Linda mulai belajar menanam dengan metode ini.
“Dari dulu saya itu paling tidak bisa buat bercocok tanam. Selalu mati kalo di media tanah. Setelah di hidroponik, ternyata di air pun tanaman bisa tumbuh,” Linda bercerita.
“Waktu itu pertama kali saya semai kangkung dan bayam, tumbuh dan berhasil. Kangkung dan bayamnya kecil-kecil kalo saya beli di pasar, setelah saya tanam sendiri, dia tumbuh sempurna. Besar dan segar. Dari situ saya mulai coba lagi.”
Dari tiga perangkat hidroponik yang cukup besar, Linda menjadi jarang membeli sayur di pasar atau pedagang kecil. Dengan upayanya menanam sendiri, ia kini bisa memastikan sayur yang akan dikonsumsi keluarganya bisa bebas dari pestisida atau pupuk berbahaya lainnya.
Linda juga rajin mengenalkan sayur pada anak-anaknya. Sayuran seperti sawi, pokcoy, dan kale yang ia tanam, biasa diolah dalam bentuk jus dengan campuran buah-buahan segar, cara yang bisa ditiru agar anak-anak menjadi gemar dengan sayuran.
“Suami saya juga paling susah makan sayur, kalo dimasakin sayur selalu sisa. Semenjak saya berhidroponik, suami saya suka menghabiskan sayuran, katanya lebih renyah dan enak aja dinikmati. Anak-anak juga suka. Waktu saya semai kangkung, itu juga mereka cicipin, katanya lebih kriuk kaya krupuk.”
Dengan kondisi yang tidak menentu seperti sekarang, serta aktifitas di luar rumah yang terbatas, Linda memiliki kekhawatiran tentang kebutuhan pangan di masa pandemi.
Ia menyarankan untuk mulai menanam di rumah sendiri. Sebenarnya sistem hidroponik kata dia bisa dilakukan dengan memakai bak kecil. Bisa juga memanfaatkan peralatan yang ada, seperti gelas mineral kecil.
“Saran saya, mulailah tanam sayur di rumah, lebih efektif tentunya, kita bisa mengawasi sayuran itu agar tumbuh dengan baik.”
Urban farming yang dilakukan Wina, Linda, dan banyak orang lainnya belakangan memang menjadi tren. Konsep berkebun di lahan terbatas ini diminati oleh masyarakat yang tinggal di kota-kota besar.
Urban farming yang awalnya hanya dilakukan oleh segelintir orang, kini berkembang masif dan menjadi gaya hidup urban. Hasil panennya pun dinilai lebih sehat, lantaran sepenuhnya menerapkan sistem penanaman yang organik.
Baca juga: Tips Bersepeda Aman Saat Pandemi dan Jelang New Normal
Defisit pangan
Kekhawatiran Wina dan Linda terkait krisis pangan yang kemungkinan bisa terjadi, bukan berdiri tanpa alasan. Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sempat menyampaikan tentang pentingnya upaya antisipasi kelangkaan dan krisis pangan akibat dari pandemi global saat ini.
Peningkatan konsumsi di beberapa komoditas pangan terutama sayur dan buah pun dianggap menjadi salah satu penyebab defisit bisa terjadi.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim stok pangan dalam negeri cukup dan aman, seperti disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letjen TNI Doni Monardo, setelah rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo, April 2020 lalu.
Padahal, stok pangan dalam negeri hanya cukup untuk 3 sampai 4 bulan ke depan selama pandemi covid-19.
Di lain pihak, dalam rapat terbatas Mei 2020, Presiden Joko Widodo justru menginformasikan, bahwa ada :
- 7 provinsi yang defisit beras,
- 11 provinsi defisit jagung,
- 23 provinsi defisit cabai besar,
- 19 provinsi defisit cabai rawit,
- 1 provinsi defisit bawang merah, dan
- 22 provinsi defisit telur ayam.
- Ditambah, gula yang defisit di 30 provinsi dan bawang putih di 31 provinsi.
Sektor pertanian dalam negeri pun dinilai menghadapi masalah yang besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, hampir 30 tahun terakhir, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam negeri terus menurun, dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini pun terus menurun.
Daulat petani
Ancaman krisis pangan menjadi semakin nyata jika sektor pertanian Indonesia juga mengalami krisis jumlah petani. Alih generasi sektor pertanian menjadi perhatian serius karena diperkirakan mengalami penurunan dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria menilai, kebijakan pemerintah untuk menekan ketimpangan ekonomi di masa pandemi pun masih jauh dari ideal. Program seperti jaring pengaman sosial misalnya, dinilai belum juga tepat sasaran.
“Seharusnya pemerintah mendukung situasi yang kondusif. Jadi harusnya, panen petani ini didukung untuk segera diserap, untuk dialirkan agar ancaman krisis itu bisa diminimalisir,” jelas Dewi.
Dewi menekankan, ancaman krisis pangan bisa saja menjadi lebih besar, jika pandemi covid-19 masuk hingga ke kampung-kampung, dan meluas sampai ke lumbung-lumbung pangan, baik di tingkat rumah tangga petani lokal, sampai ke organisasi tani tingkat kabupaten.
Pemerintah melalui satgas pangan, bulog, dan kementan harus segera “menjemput bola”. Hal tersebut dilakukan untuk menyerap secara langsung hasil produksi. Bukan hanya di tingkatan petani, tapi juga nelayan, agar bisa terjaga stabilitasnya. Karena fluktuasi saat ini dirasa semakin tidak menentu.
“Harusnya di tengah ancaman ini, justru didorong petani itu untuk secara aman-nyaman menanam, menggarap, hingga memanen, untuk mengatasi krisis pangan. Bahkan jangan lagi diganggu. Kita akan lebih berdaulat kalau petani itu, hak atas tanahnya dijamin lewat agenda reforma agraria,” tambah Dewi.
Sayangnya, dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sedikitnya ada 9 kasus konflik agraria yang terjadi di awal masa pandemi di Indonesia.
Kasus penggusuran dan kriminalisasi petani yang terjadi di pelbagai daerah, dinilai semakin memperburuk situasi, mengancam keselamatan masyarakat dan kedaulatan pangan di Indonesia dalam menghadapi pandemi.
Eko Cahyono, Sekretaris Dewan Pengurus Sajogyo Institute, sebuah organisasi pusat studi dan dokumentasi agraria di indonesia menjelaskan, pentingnya mengembalikan kedaulatan pangan di tengah ancaman pandemi saat ini.
Konsep tersebut bisa dilakukan dengan mulai mengurus nasib petani kecil dan lahan garapannya. Serta struktur agraria yang telah berlaku saat ini, seperti kepemilikan, kekuasaan, distribusi, hingga aset yang dinilai adil atau tidak bagi petani.
“Sebenarnya, kalau politik kebijakan pangan nasional itu jelas, banyak sekali hal yang bisa dilakukan di era pandemi ini. Misalnya, sekarang lagi musim panen, kalau ada upaya serius untuk menggalakan bagaimana hasil panen ini dikumpulkan menjadi satu kepentingan nasional, barangkali cadangan kita masih lebih baik,” jelas Eko.
Eko juga menambahkan, bahwa pentingnya mengembalikan lagi tradisi dan budaya pangan dalam negeri yang tidak semata beras. “Kita punya kekayaan diversifikasi pangan yang sangat kaya. Penting untuk mendorong kebijakan bagaimana masyarakat Indonesia itu diajak ulang, dan didorong untuk menggali kembali keragaman pangan yang kita miliki.”
Editor : Rahardi