Jakarta, Lontar.id – Dalam sebuah diskusi kecil-kecilan di kontrakan sederhana, bersama kawan-kawan, kami membahas soal kebijakan impor, perladangan dan pertanian di Indonesia.
Kami tidak menggugat pemerintah karena keberatan. Kami cuma membahas bagaimana nasib seorang petani dalam menghadapi musim-musim yang penuh dengan ketidakpastian.
Bahasa teman-teman saya tidak njlimet seperti pemaparan ahli pangan dan pertanian, serta ekonom-ekonom Indonesia yang punya hitungan sendiri soal kebijakan.
Pembahasannya kurang lebih seperti, bagaimana nasib petani saat mereka baru saja panen pangan, tiba-tiba pemerintah mendatangkan pangan impor dari luar.
Pangan impor itu, harganya miring dari yang sudah dihasilkan oleh petani-petani lokal. Kualitasnya pun setara. Otomatis, pengendali pasar lebih memilih hal yang murah.
Tiba masanya, para petani menawarkan hasil panennya pada tengkulak untuk dibeli dengan harga agak mahal dari barang impor. Otomatis, penawaran dari petani lokal ditolak.
Dengan berpikir lama, akhirnya petani membanting harganya. Risikonya adalah, jika tak cepat laku, pangannya membusuk dan rusak, atau tak ada modal untuk menanam ulang bibit pangannya.
Sudah dari dulu kenyataan ini kerap kita temukan. Terdengar menyedihkan, namun itulah risiko pekerjaan. Namun, tidak selamanya juga begitu.
Biasanya, jelang waktu-waktu pencoblosan, yang berkepentingan dengan itu, kerap membagi pupuk dan banyak hal yang bisa menyejahterakan petani.
Terdengar menarik. Namun karena kenyataan petani-petani lebih memilih hal yang pasti, maka hadiah-hadiah itu diambil. Asap dapur mereka bisa mengebul lebih lama lagi.
Begitu lingkaran mayoritas penguasa dan yang dikuasai, saling menjalin kerja sama. Meski begitu, bukan berarti kita lupa substansi soal kengerian bertani di negeri ini jika melihat serangan-serangan padanya.
Saya cukup terenyuh juga dengan kenyataan bahwa para petani susah untuk bersuara lantang demi kemakmurannya. Suara-suaranya gampang ditutupi berbagai hal yang menariknya dari sawah.
Misal, para pengembang menawarkan sebuah rumah yang layak demi menjual sawahnya. Alhasil, pertanian ditutupi lagi dengan cor-cor semen dan rumah-rumah dari batu.
Bisa saja tawaran itu diterima dengan isu-isu bahwa masa depan petani lokal akan memburuk di tengah gempuran pangan impor. Hidup praktis dan mengubah gaya hidup tentu saja jadi rayuan buat mereka.
Lagipula, di desa, pekerjaan petani tidak lagi populer. Bayangkan saja, pemuda-pemuda sekarang lebih memilih ingin berangkat ke kota menjadi montir dan lain-lain.
Seorang kerabat jauh dari Bulukumba, yang keluarganya lebih banyak menghabiskan waktu di laut dengan menjadi nelayan, pernah memberi saya pesan pendek di ponsel.
Katanya, ia akan berangkat ke Makassar untuk menjadi montir di bengkel kecil. Saya tak bertanya mengapa ia tak mau mengikuti jejak ayahnya menjadi nelayan. Semakin hari, laut semakin dijauhi oleh pemuda.
Peluang menjadi montir lebih terbuka, sebab kendaraan makin banyak di kota dan desa. Hal itu lebih memungkinkan daripada bertani. Itu untuk orang-orang yang cuma tamat sma.
Lah, bagaimana dengan alumni sebuah kampus yang mengambil jurusan pertanian? Adakah mereka semuanya berbodong-bondong ingin menjadi petani?
Salah satu contoh yang paling nyata adalah, sewaktu Presiden Jokowi menyindir lulusan Institut Pertanian Bogor pada 2017 lalu, sebab banyaknya alumni IPB yang bekerja di dunia perbankan.
Saya yakin penjelasan saya soal ini masih sangat dangkal, dibanding orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk meneliti soal bagaimana petani hidup dan berkembang di suatu daerah.
Dari obrolan lapangan sebelumnya, membuat saya merasa kalau hal yang saya paparkan bukanlah sebuah kelakar atau omongan yang dianggap kosong, yang kerap membawa suara ibu ini dan ibu itu.
Dari Mongabay, saya menemukan data, kalau masa depan pertanian Indonesia terancam punah. Soalnya minat generasi muda tergerus dengan pelbagai hal. Alasan sederhananya, merosotnya luas lahan garapan kepemilikan pribadi.
“Ini terjadi dimana-mana, generasi muda semakin hilang dan berkurang yang mau bekerja di sektor pertanian. Ini menjadi tantangan pertanian kita ke depan,” ungkap Nurhady Sirimorok, peneliti dari Ininnawa, dalam sebuah diskusi di Makassar, Sulawesi Selatan, akhir Mei 2015 lalu, dikutip dari Mongabay.
Saya menggulirkan beranda Twitter saya setiap waktu, dan kemarin, saya menemukan satu paparan menarik dari Remotivi tentang wajah kemiskinan yang dimanfaatkan televisi demi mereguk untung.
Nama videonya yakni Para Penjaja Iba di Televisi. Kemiskinan di layar kaca, adalah hal panen uang bagi televisi. Seperti kasus pamer ketololan yang menghasilkan banyak rupiah.
Bukannya tidak membawa manfaat. Suara orang miskin jadi kencang dan kita jadi lebih peduli dan mengiba dan lebih giat membantu orang miskin. Jika tidak? Yang untung cuma tevenya.
Tetapi yang lebih berbahaya dari itu adalah, bagaimana suatu pekerjaan dianggap sebagai pekerjaan yang rendah dan dikhususkan bagi orang-orang yang tak tamat sekolah.
Dari dulu, saya sudah sering dicekoki sebuah tontonan yang menganggap pekerjaan petani itu adalah pekerjaan orang tua yang wajahnya butut, berkulit legam, serta bajunya compang-camping.
Jujur saja, mindset yang tercipta dalam benak saya adalah: menjadi petani tidak tidak keren; menjadi petani itu pasti miskin; menjadi petani cuma untuk orang-orang tua.
Sadarkah kalian dengan film-film yang menggambarkan petani seperti di atas? Jika iya, mungkin sebaiknya harus digaungkan lagi informasi dan diperbanyak lagi advokasi soal betapa seharusnya petani itu pekerjaan yang sangat layak.
Jangan sampai, saat semua pemuda pergi meninggalkan sawah, yang kita banggakan cuma pembangunan desa menyerupai kota. Lalu bersama keluarga, kita makan pangan impor dengan berbahagia di atas meja.
Setelah semuanya impor, apalagi yang kita banggakan? Kompleks-kompleks yang gampang direndam banjir? Negeri yang mudah kena gempa? Air bersih yang dikontrol cuma untuk orang berada?