Lontar.id – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 ini diprediksi akan berada di bawah 5 persen. Bahkan, ekonomi Indonesia diduga bisa tak tumbuh sama sekali karena wabah.
Menurut World Bank, prediksi itu bisa terjadi sebab perlambatan konsumsi rumah tangga setelah banyak masyarakat kehilangan pekerjaannya serta kurangnya kegiatan ekonomi dan menurunnya kepercayaan konsumen selama PSBB.
Nah, jika beralih ke kelaziman baru atau new normal, apakah ekonomi akan terdongkrak dan menjauhi prediksi itu?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menjawab, kalau new normal tak akan membawa perubahan signifikan.
New normal dianggap bisa membuat ekonomi RI bisa berjalan lebih lambat dari PSBB, karena kemungkinan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 lebih tinggi dari sebelumnya.
“New normal belum mampu memulihkan ekonomi dalam jangka pendek, justru dikhawatirkan pemulihan berjalan lambat karena masyarakat belum yakin beraktivitas di pusat-pusat perbelanjaan di saat kasus positif masih tinggi,” kata Bhima dikutip Detikcom, Jumat (19/6/2020).
Nantinya, selama kelaziman baru, kegiatan ekspor diprediksi masih akan menerima tekanan karena permintaan global masih rendah. Contohnya AS masih didera krisis ekonomi, krisis kesehatan, ditambah krisis politik jelang pemilu November mendatang.
“Sebagai negara tujuan ekspor utama, Indonesia sama sekali tidak diuntungkan dengan kondisi tersebut. Demikian juga ekspor kita dengan China,” terangnya.
Sementara Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai Indonesia bakal tetap kesulitan untuk tumbuh positif tahun ini. Walau menjalankan kelaziman baru.
“Dalam rilis terakhir BPS (Badan Pusat Statistik), impor bahan baku kita mengalami kontraksi hingga -31 persen, bahkan impor ini merupakan impor terendah sejak 2009. Padahal, 75 persen impor kita diperuntukkan untuk bahan baku penolong industri. Jika impor melambat, maka bisa diartikan pelaku usaha industri di dalam negeri juga sedang mengurangi produksi karena melambatnya permintaan, baik itu dari dalam maupun luar negeri,” papar Yusuf.
Jika kinerja industri manufaktur melambat, maka besar pula potensi ekonomi RI terkoreksi lebih dalam lagi. Mengingat industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) RI.
Sejauh ini, daya beli masyarakat menurun. Bisa dilihat dari indikator penjualan riil RI yang juga mengalami penurunan.