Lontar.id – “Suami gue mau lu kawinin di sini jam 1“
Wanita paruh baya Suzethe Margaret (52) tiba-tiba viral di jagad media sosial, melalui cuplikan video pendek yang di unggah dan disebarkan warga netizen. Ulah wanita paruh baya ini, tak seperti netizen yang numpang tenar di jagad medsos.
Melainkan Suzethe Margaret mencari suaminya yang akan melangsungkan pernikahan di Masjid Al Munawaroh, Sentol, Bogor, sambil membawa seekor anak anjing.
Para jemaah yang menyadari seekor anjing berkeliaran di masjid pun langsung mengusirnya, bahkan salah satu pengurus masjid terlibat adu mulut hingga saling dorong.
Tak lama kemudian, pihak berwajib datang mengamankan Suzethe Margaret dan dibawa ke kantor polisi guna dilakukan pemeriksaan. Beredar kabar, bahwa wanita non-muslim tersebut mengalami gangguan mental.
Membawa seekor anak anjing di masjid, memang bukanlah tindakan yang menghargai perbedaan agama, justru mengotori dan memicu lahirnya konflik SARA.
Dalam Islam, anjing dikenal sebagai hewan yang diharamkan, sehingga apabila seorang muslim memegang anjing maka diwajibkan untuk disucikan dengan air dicampur tanah. Hewan lain yang diharamkan dalam Islam adalah Babi.
Bagaimana mendudukkan masalah ini agar tidak melahirkan konflik antar agama. Sebab, di Indonesia ketersinggungan terhadap agama cukup besar sekali dan bisa memicu lahirnya konflik. Sebagian dari konflik yang terjadi adalah karena soal SARA, salah satunya agama.
Sangat jelas sekali, membawa seekor anjing masuk ke dalam masjid merupakan perbuatan penistaan terhadap agama dan tidak menghargai (toleransi) antar agama. Sebagian besar kalangan ummat muslim, sudah pasti tidak akan setuju bila rumah ibadah dimasukkan hewan, apatahlagi anjing yang jelas-jelas diharamkan.
Saya mengikuti betul bagaimana reaksi teman-teman saya saat melihat video tersebut beredar. Kemarahan sangat jelas muncul dari komentarnya dengan beragam umpatan, kemarahan tersebut sangat beralasan karena tempat ibadah sifatnya suci dan tidak bisa dikotori.
Kemarahan yang sangat wajar tersebut, menurut saya tidak perlu harus sampai membangkitkan amarah yang berlebihan hingga menumpahkan darah satu sama lain. Melaporkan ke polisi adalah tindakan bijak yang menghargai prosedur hukum di Indonesia.
Terlebih lagi, Suzethe Margaret sedang mengalami gangguan jiwa, sehingga tak beralasan bila hendak membalasnya dengan mengobarkan api permusuhan.
Bila kita belajar dari pengalaman konflik agama di Ambon yang melibatkan antara muslim dan Kristen, sejumlah korban berjatuhan. Kerugian akibat konflik tak bisa dipredisksi, apalagi pemicunya hanya karena salah paham dan ada oknum yang menunggangi isu tersebut sehingga melahirkan konflik berkepanjangan.
Demikian juga dengan konflik SARA antara suku dayak dengan orang Madura di Kalimantan. Di layar televisi kita menyaksikan orang memuntahkan amarah dan membunuh satu sama lain. Kita berharap kejadian tersebut tidak lagi terulang kembali di negeri kathulistiwa.
Begitu juga dengan kejadian ibu Suzethe Margaret yang membawa anjing ke dalam masjid. Kita harus bisa saling memaafkan, meskipun itu berat bagi umat muslim, karena mengotori tempat ibadah. Begitulah konsekuensi makna tolenrasi hidup di negara beragam, memaafkan lebih baik daripada terlibat konflik.