SENIN pagi (22/10/2017), saya dihubungi oleh teman kelas saya di kampus untuk hadir di acara open house salah satu pengikut dan penganut agama Baha’i di Indonesia. Acara itu sebagai peringatan dan perayaan kelahiran 200 tahun Baha’ullah.
Dibuka secara umum dan terbuka, mereka yang datang adalah orang-orang dengan berbagai agama, dari Islam, Nasrani, Hindu hingga Konghucu.
Saya tiba di kediaman George Soraya sekira pukul 10.30. Pria keturunan Iran yang bekerja di World Bank ini menyediakan tempat hingga penganan untuk merayakan ulang tahun Baha’ullah.
Hal itu, sebagai dedikasi dan penghormatannya kepada Bahau’llah serta ajaran yang dibawanya. Orang tua George adalah salah satu generasi awal yang memperkenalkan agama Baha’i di nusantara.
George dan isterinya menyambut kami dengan ramah di kediamannya, yang beralamat di Jati Padang, Pasar Minggu. Beberapa orang telah hadir, saling bercakap dan terlihat begitu hangat.
Sejak awal agama Baha’i mengusung konsep pemersatu umat, meyakini bahwa setiap agama sesungguhnya menyembah Tuhan yang sama. Baha’ullah mengajarkan berbagai prinsip rohani dan konsepsi yang diperlukan umat manusia agar perdamaian dunia yang diidamkan dapat tercapai.
“Kita tidak bisa terus seperti ini, hanya bertengkar,” jelas sang mukmin Baha’i.
Agama pemersatu ini meletakkan tiga pilar utama kesatuan. Yakni, keesaan Tuhan, kesatuan sumber surgawi dari semua agama, dan kesatuan umat manusia. Sebuah konsepsi “kesatuan dalam keanekaragaman.”
Lukman Hanafi (23) salah satu pengikut agama Baha’i yang juga hadir dalam open house itu mengaku, jika agama Baha’i memiliki kekuatan pemersatu. Baha’i dengan beberapa ajarannya berproses pada tiga pilar.
Pertama, pencarian kebenaran secara mandiri. Kedua, keselarasan antara agama dan ilmu pengetahuan. Ketiga, penghilangan segala bentuk prasangka: agama, ras, kebangsaan, dan kelas sosial. Keempat, penyelesaian masalah ekonomi secara rohani. Kelima, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Keenam, Musyawarah dalam segala hal dan kesetiaan kepada pemerintah.
Seperti agama lainnya, Baha’i mengakui jika para pembawa wahyu sebelumnya juga membawa wahyu kebenaran dan saling menurunkan. Menurut ajaran Baha’i, setiap masa, Tuhan akan menurunkan utusannya.
“Kita mengakui kebenaran itu, Muhammad, Isa, Musa adalah utusan atau pembawa wahyu. Menurut ajaran Baha’i, pada masa ini utusan itu adalah Baha’ullah. Tapi ini bukan yang terakhir, akan ada utusan lagi setelahnya,” jelas Lukman, pengikut ajaran Baha’ullah sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) ini.
Acara open house tersebut diisi dengan doa bersama untuk Bahau’llah, doa diwakilkan oleh masing-masing agama yang dihadiri oleh pengikutnya. Tidak ada acara inti yang disajikan selain duduk bersama menjalin persaudaraan. Diselingi dengan nyanyi dan menonton film sejarah singkat Bahau’llah dan agama Baha’i di dunia.
Kehidupan Baha’ullah
Berdasarkan ajaran Baha’i, Bahau’llah membawa wahyu yang transformatif dan visioner. Baha’ullah dalam sejarah di kitab Baha’i mengalami tantangan dan siksaan yang berat sepanjang hidupnya. Sebagaimana juga yang dialami oleh semua pembawa wahyu agama-agama lainnya.
Disuatu masa dia dipenjara dan dirantai dalam penjara bawah tanah. Disiksa, diusir, dihina, serta dikucilkan di empat negeri yang berbeda hingga wafat di kota penjara ‘Akka pada tahun 1892. Namun demikian, cahaya kebenaran wahyunya dan ajarannya tentang kesatuan tak bisa ditutupi dan diredupkan.
Semakin jauh para penguasa membuangnya, semakin besar jumlah orang yang tertarik pada ajarannya dan mengenali kesatuan serta keagungannya. Hingga agamanya tersebar ke seluruh dunia.
Bahau’llah dilahirkan di kota Taheran, Iran (saat itu masih bernama Persia). Ia menjalani dan menghabiskan masa kecilnya di kota itu. Tahun 1852, Baha’ullah menerima wahyu pertamanya saat dia dikurung di penjara Siyah-Chal di Taheran.
Dia mengumumkan dirinya sebagai utusan atau sebagai “dia” yang dijanjikan Tuhan pada tahun 1863 di Kota Baghdad. Bahaullah kemudian diasingkan kembali pada tahun 1868 di penjara terbesar ‘Akka, merupakan penjara terburuk dan menjadi tempat pengasingan terakhirnya.
Tahun 1892 Bahaullah meninggal dan dimakamkan di Akka. Saat ini menjadi tempat tersuci bagi ummat Baha’i di seluruh dunia.
Gambaran penderitaan Baha’ullah ada dalam wahyu yang diturunkan kepadanya: “ Keindahan Purba telah memperkenankan diri-Nya diikat dengan rantai agar umat manusia dapat terlepas dari belenggunya, dan telah merelakan diri-Nya dijadikan tawanan dalam benteng yang maha kuat ini agar seluruh dunia dapat mencapai kebebasan sejati……….Kami telah rela dihina, wahai orang-orang yang beriman pada keesaan Tuhan, agar engkau dapat dimuliakan, dan kami telah menderita berbagai kesengsaraan agar engkau dapat hidup makmur sejahtera.”
Masyarakat Baha’i dan Penyebarannya
Bahau’llah menurunkan kitab suci sebanyak 100 jilid lebih dan telah diterjemahkan ke dalam 802 bahasa. Selain itu pengikut Baha’i atau yang dikenal dengan masyarakat Baha’i ini telah tersebar di 127.381 wilayah di dunia.
Dengan perincian, 191 negara, 46 wilayah teritorial, 182 majelis nasional, dan 2.112 suku, ras, dan kelompok etnis. 4.050 majelis di Amerika, 4.309 majelis di Afrika, 998 majelis di Eropa, 5.489 majelis di Asia, dan 952 majelis di Australia.
Adapun rumah ibadah (mashriqu’l-adhkar) yang didirikan oleh masyarakat baha’i sebagai bentuk dedikasi terhadap misi persatuan umat manusia telah berdiri di beberapa negara. Rumah ibadah yang memiliki 9 pintu dengan corak masing-masing wilayah atau negara ini telah berdiri di Jerman, India, Amerika Serikat, Australia, Panama, Chile, Uganda, Pasific, dan Cambodia.
Agama Baha’i di Indonesia
Agama Baha’i mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1884, Awalnya Jamal Effendi dipilih Bahau’llah untuk mengadakan perjalanan ke India hingga sampai di Asia dan tanah nusantara. Seperti di kutip pada laman www.bahaiindonesia.org.
“Dari India, mereka melanjutkan perjalanan ke Dacca (sekarang dikenal dengan nama Dhaka, ibu kota Bangladesh), kemudian ke Bombay dan setelah tinggal di sana selama tiga minggu, mereka pergi ke Madras.”
Dari Madras, mereka berlayar ke Singapura ditemani dua orang pelayan yaitu Shamsu’d-Din dan Lapudoodoo dari Madras. Setelah mendapatkan ijin untuk berkunjung ke Jawa, mereka tiba di Batavia (Jakarta) dan mereka ditempatkan di pemukiman Arab, Pakhojan.
Mereka hanya diijinkan untuk mengunjungi kota-kota pelabuhan di Indonesia oleh pemerintah Belanda. Sayyid Mustafa Rumi, yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, segera menguasai bahasa Melayu, menambah daftar panjang bahasa-bahasa yang telah dikuasainya.
Dari sini mereka berkunjung ke Surabaya, dan sepanjang garis pantai, mereka juga singgah di pulau Bali dan kemudian Lombok. Disini, melalui kepala bea cukai, mereka diatur untuk bertemu dan disambut oleh Raja yang beragama Buddha dan permaisurinya yang beragama Islam. Dan mereka berbicara mengenai hal-hal kerohanian dengan Raja dan permaisurinya.
Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar dan beberapa pulau di Sulawesi. Mereka sampai ke Pare-Pare dan juga berkunjung guna mengadakan hubungan ke kerajaan Bone.
Adapun Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama tahun 2014 telah menyampaikan jika agama Baha’i adalah agama yang independen dan bersifat universal. Ia bukan sekte/aliran dari agama lain termasuk Islam.
Tulisan ini sebelumnya pernah diterbitkan di Locita.co