Lontar.id – Salah satu makanan paling terkenal di Indonesia selain nasi Padang, gudeg, nasi goreng, dan Bakso adalah Coto Makassar. Makanan yang disebut berasal dari Sulawesi Selatan memiliki cita rasa tinggi karena kekayaan rempahnya. Konon 40 rempah wajib ada saat membuat coto Makassar. Sayangnya, pemaknaan kita terhadap coto Makassar seringkali berakhir pada cita rasa, bahan masakan, dan warung-warung apa saja yang menjualnya dengan harga murah dan rasa yang telah terjamin.
Coto Makassar menjadi salah satu makanan yang cukup melagenda. Klaim itu bisa dilihat melalui beberapa bentuk komodifikasi coto Makassar melalui beberapa produk makanan instan seperti mie instan.
Coto Makassar juga menjadi salah satu menu di maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Berangkat dari fenomena tersebut, rasanya pelu menelisik lebih jauh coto Makassar lebih dari sekedar cita rasanya yang kaya rempah.
Menjelajahi kuliner nusantara tidak hanya membawa kita pada pertemuan lidah dan rasa masakan tapi pada pertemuan tentang sejarah nusantara dan Indonesia,. Kuliner membawa kita lebih jauh melihat identitas bangsa kita sendiri.
Fadly Rahman, seorang peneliti kuliner nusantara pernah mengatakan bahwa, kuliner nusantara tentu saja tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kolonialisme. Sehingga, bagi Fadly Rahman, agak menggelikkan jika terjadi saling klaim produk budaya, misalnya saat Indonesia memperkarakan Malaysia karena mengklaim satu produk makanan yang mana itu menyerupai makanan Indonesia.
“Klaim-klaim kuliner itu sebenarnya menggelikan, bukan menggelisahkan. Karena makanan adalah produk budaya yang mudah diadopsi, dimodifikasi, dan diduplikasi oleh siapa pun,” ujar Fadly Rahman yang seorang sejarawan Universitas Padjadjaran yang fokus pada studi sejarah kuliner Indonesia. Dikutip melalui website Historia.id
Lalu, bagaimana cara kita memetakan klaim coto Makassar sebagai makanan khas Makassar. Agaknya, penelusuran tersebut cukup sulit dilakukan, tetapi belum tentu tidak bisa dilakukan.
Referensi tertulis sejarah coto Makassar yang sangat terbatas membuat saya juga sangat terbatas dalam melakukan penelusuran. Sumber-sumber sejarah memang tidak implisit menceritakan asal-usul coto Makassar, namun bukan berarti tidak bisa digunakan samasekali sebagai sumber referensi.
Coto Makassar dari beberapa literatur disebutkan sebagai makanan yang telah ada sejak zaman kerajaan. Coto Makassar sudah ada sejak masa Somba Opu yang merupakan pusat Kerajaan Gowa ketika mengalami kejayaan pada 1538. Saat itu Coto Makassar menjadi hidangan di Kerajaan Gowa.
Selain itu, ada yang beranggapan jika coto Makassar mendapatkan pengaruh dari kuliner Tiongkok. Dari jejak sejarahnya, bangsa Cina telah ada di nusantara sebelum Eropa mendarat. Kedatangannya juga ditandai dengan penemuannya terhadap rempah-rempah.
Apabila dilihat dari kekhasan coto Makassar sebagai makanan yang penuh rempah-rempah, maka coto Makassar baru ditemukan pada masa-masa tersebut, akan tetapi sulit menentukkan kapan waktu tepatnya.
Hal lain yang perlu ditinjau kembali adalah, pada awalnya rempah-rempah tidak digunakan sebagai penguat cita rasa masakan. Barulah pada abad ke 16, saat Eropa datang, rempah-rempah dieksploitas menjadi bumbu masakan. Oleh sebab itu, hipotesis saya, coto Makassar ada sejak Eropa telah memodifikasi rempah-rempah sebagai bumbu masakan. Akan tetapi dari racikannya, banyak dipengaruhi oleh kuliner tiongkok.
Jika sejak awal, coto Makassar telah mendapatkan pengaruh kolonialisme, maka sejak kapan coto Makassar dianggap sebagai makanan khas nusantara?
Menurut penelitian yang dilakukan Fadly Rahman, klaim atas suatu makanan yang dianggap makanan khas nusantara hari ini berasal dari pembukuan resep masakan di zaman Soekarno. Pembukuan itu dilakukan karena hasrat menunjukkan identitas kebangsaan Indonesia yang merdeka dari segala bentuk dominasi penjajah.
Seorang tokoh pergerakan perempuan dari Sumatra Barat, Rangkajo Chailan Sjamsu Datuk Toemenggoeng. Singkatnya Chailan Sjamsu, adalah sosok yang patut diketengahkan terkait perannya dalam merumuskan konsep “makanan Indonesia”. Dalam karyanya Boekoe Masak-Masakan yang terbit perdana pada 1940. Chailan Sjamsu mendorong pembacanya dari kalangan rakyat Indonesia agar memberdayakan bahan-bahan lokal untuk membuat olahan aneka makanan kue dan masakan.
Buku masak Chailan Sjamsu juga lebih banyak memasukkan variasi makanan dan kue-kue Indonesia. Hal ini jelas mewakili rasa nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain terobsesi ingin mewujudkan kuliner nasional, ia juga menampilkan kelompok resep bercita rasa daerah yang mencakup Sumatra, Jawa dan Madura, Sunda, serta Borneo (sic.) dan Sulawesi Selatan. (Rahman/Kuliner Sebagai Identitas Keindonesiaan)
Proyek pembukuan resep masakan yang dilakukan di zaman Soekarno menurut Fadly Rahman cukup tergesa-gesa. Ikhtiar menjukkan identitas kuliner nusantara memang telah ada, tapi dari semua masakan itu masih bercita rasa kolonialis.
“Usaha mendekonstruksi tatanan kuliner pada aspek mental saja, tapi tidak menyentuh secara menyeluruh pada aspek strukturalnya yang di antaranya mencakup sistem ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan, gizi, hingga kesadaran bangsa Indonesia dalam membayangkan konsep kuliner.” Tulis Fadly Rahman.
Sayangnya, hari ini euforia terhadap coto Makassar hanya sampai pada romantisme memperkenalkan makanan khas nusantara. Yang dilihat sebatas penguatan cita rasa. Alih-alih melihatnya sebagai bagian dari sejarah kolonialisme dan mencoba mempertanyakan kembali identitas Coto Makassar.