Sebelum membaca tulisan ini, sebaiknya membaca tulisan-tulisan lain terkait bissu di lontar.id. Sebab tulisan di bawah ini tidak lagi menjelaskan istilah-istilah dasar dari suku Bugis yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya.
Baca Dulu: Keberagaman Gender dalam Suku Bugis dan Hal-Hal yang Luput
Baca Dulu: Bissu: Yang Mati dan Tak Tumbuh Seribu
Lontar.id – Beberapa bulan ini, saya cukup sering menelusuri kajian-kajian pustaka yang membahas tentang bissu. Penelusuran saya terhadap bissu tidak terlepas dari usaha menyelesaikan studi yang secara tidak kebetulan objek penelitiannya adalah bissu.
Agak aneh memang, sebagai “penghayat” bissu, tapi saya sendiri belum pernah bertemu langsung dengan bissu. Perjumpaan saya dengan bissu, justru lebih sering melalui buku-buku sastra, jurnal penelitian, dan buku akademik lainnya. Namun justru, perjumpaan itu membawa saya ke mana-mana. Ke Belanda, ke tanah Bugis, bahkan ke masa lalu.
Karena hasrat melihat bissu lebih dekat, saya kemudian banyak dipertemukan oleh orang-orang yang juga dekat dengan bissu. Dalam suatu malam, saya diundang di salah satu WAG bernama “Pemerhati Bissu”.
Sebagian besar anggota dari WAG tersebut adalah peneliti langsung, maksudnya mereka turun ke lapangan, bertemu dengan bissu, bahkan hidup beberapa bulan dengan bissu. Berbeda dengan saya, yang meneliti bissu melalui kajian-kajian kepustakaan terdahulu.
Pembahasan yang menarik dari WAG tersebut adalah adanya realitas bahwa bissu sendiri tidak mengenal istilah gender, apalagi memahami apa itu transgender ataupun androginus.
Kenyataan di lapangan itu menjadi penting buat saya, karena sejak awal membaca bissu, saya merasa sangat skeptis dengan pengkategorian bissu sebagai transgender. Barangkali juga, karena saya seorang yang bersuku Bugis, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi pandangan saya terhadap konsep gender yang disematkan dalam diri bissu.
Argumen utamanya karena konsep gender itu sendiri berbeda konteks dengan suku Bugis. Gender berada dalam konteks barat, sementara bissu berada dalam konteks timur.
Orang yang pertama mengkategorikan bissu ke dalam gender ke-lima adalah Sharyn Graham Davies. Ia melihat bahwa dalam diri bissu, terjadi penggabungan unsur feminin dan maskulin. Olehnya, bissu menurut Davies tidaklah genderless, tapi justru bissu termasuk dalam androginus.
Pengkategorian yang dilakukan Davies sesungguhnya adalah langkah awal untuk melihat bissu lebih dalam. Dibandingkan dengan peneliti-peneliti terdahulunya seperti Hamonic dan Pelras yang melihat bissu sebagai transgender dan homoseksual. Davies setidaknya berani membongkar dan melangkah lebih jauh dalam melihat bissu.
Setelah turun ke lapangan pertama kali, kira-kira tahun 1998, Davies menemukan hal yang berbeda. Benar, ia masih terperangkap dalam konsep gender (karena memang susah menggunakan istilah lain), tapi ia juga mengatakan kalau bissu berbeda dengan trans-seksual, transgender, ataupun transvesty yang merasa terperangkat dalam tubuh yang salah.
Dari penemuannya di lapangan, para bissu yang sebelumnya mendapatkan peran sebagai calabai ataupun calalai tidak pernah merasa terperangkap dalam tubuh yang salah. Mereka justru percaya bahwa identitasnya sebagai calabai, calalai, ataupun bissu merupakan pemberian dari Tuhan.
Davies menekankan satu hal jika bissu memiliki posisi subjek sendiri. Yang berbeda dari konstruksi gender yang ada sebelumnya.