Lontar.id – Sebelum Islam masuk di Kerajaan Bima, masyarakat telah memiliki kepercayaan tersendiri yang telah mengakar sejak lama. Kepercayaan tersebut diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang, mereka percaya dengan adanya Marafu (tuhan)
dan roh leluhur.
Marafu dipercayai tinggal di parafu ro pamboro yang mendiami pohon-pohon besar, batu, dan sumber mata air. Kemudian mereka melakukan upacara penyembahan (toho dore) dengan membawa sesajian. Upacara penyembahan dengan sesajian itu dipimpin oleh seorang Naka (pemimpin spritual yang memiliki pengaruh dan juga menandai zaman ‘Naka’).
Kepercayaan tersebut sudah ada sejak zaman prasejarah, atau orang Bima menyebutnya sebagai zaman Naka yang dikenal dengan Makakamba dan Makakimbi atau istilah lainnya adalah anismime dan dinamisme. Struktur kehidupan masyarakat masih berpindah-pindah (nomaden). Mereka masih mengandalkan hasil perberburuan hewan dan belum mengenal bercocok tanam dan perkakas.
Baca Juga: Mengenal Sambori di Bima
Sedangkan agama Hindu baru dikenal pada zaman kerajaan pertama yang dipimpin oleh Sang Bima. Cerita kedatangan Sang Bima ke tanah Mbojo (Bima), kala ia berlabuh di Kaki Gunung Tambora, di Pulau Satonda yang sudah ramai penduduknya, di sana terdapat sebuah kerajaan Pekat.
Setelah Sang Bima tiba, dia mampu menyatukan para penguasa (Ncuhi) yang membagi wilayah Bima, lalu dia diangkat sebagai raja pertama oleh Ncuhi. Kemudian nama Bima diabadikan sebagai nama daerah ini, sedangkan masyarakat menyebutnya sebagai Mbojo (Babuju). Mbojo tak sekadar untuk menyebutkan wilayah, melainkan meliputi suku masyarakat..
Kedatangan Sang Bima diikuti pengaruh agama Hindu, itu ditandai dengan adanya peninggalan sejarah Wadu Pa’a (batu pahat) di teluk Bima, Wadu Tunti (baru tulis) di Desa Donggo, dan Wadu Nocu (batu lesung) di Desa Renda. Meskipun agama Hindu masuk di Bima, namun kepercayaan masyarakat terhadap animisme dan dinamisme telah mengakar kuat, terlebih lagi raja Bima tidak memaksakan penduduk untuk memeluk agama Hindu.
Perselisihan Keluarga Kerajaan hingga Islam Masuk
Pada abad ke-XVI M, masyarakat Bima yang bersentuhan langsung dengan para pedagang dan Mubalig yang datang dari kerajaan Demak dan Gresik Jawa, sudah mendengar Islam. Kapal-kapal mereka berlabuh di Teluk Bima menjual dan membeli barang.
Islam mulai disebarkan terutama oleh para Mubalig, namun Islam saat itu belum sepenuhnya dapat diterima oleh kerajaan lantaran adanya kecurigaan akan kehilangan kekuasaan raja, sehingga tertolak dengan sendirinya.
Dalam catatan Henri Chambert-Loir, Syair Kerajaan Bima (Jakarta: Lembaga Penelitian Francis,1982), menuliskan “Masyarakat Bima telah mengenal Islam dari Jawa yang disebarkan oleh para pedagang dan mubalig, baik datang sendiri atau yang secara khusus diutus oleh sultan Islam yang ada di Demak, Banten, dan Gresik,”
Pada perkembangan selanjutnya, islamisasi di Bima dibawa oleh para saudagar dari Goa (Baca Gowa), Tallo, Luwu dan Bone di Sulawesi. Dalam sebuah Jurnal yang ditulis Nurhilaliati tentang (Konflik Politik Internal kerajaan: Prolog Islamisasi Massif dan Struktural di Bima) menerangkan bahwa raja Gowa Sultan Alauddin pernah mengirim pesan melalui utusan ke Raja Bima. Pesan dari Sultan Alauddin tersebut mengajak Raja Bima Samara Ruma Ma Ntau Asi Sawo agar menerima ajaran Islam, sebagai agama yang dianut oleh kerajaan dan mengubah sistem kerajaan menjadi kesultanan.
Baca Juga: Mengapa Islamisasi di Toraja Gagal?
“Dalam sejarah Bima tercatat bahwa sebelum penyebaran Islam dengan peperangan, kerajaan Goa pernah mengutus beberapa orang untuk menyampaikan berita bahwa sultan Goa, Luwu, Tallo, dan Bone beserta seluruh rakyatnya telah masuk Islam, dan sekaligus mengajak masyarakat Bima untuk masuk dan memeluk agama Islam,”
Pesan dari Sultan Alauddin belum sempat dijawab oleh Raja Bima, lantaran beberapa waktu setelah itu dia meninggal dunia. Raja Bima meninggalkan dua orang putranya yang akan mewariskan tahtanya sebagai raja, yang pertama bernama Ruma Ma Mbora di Mpori Wera dan La Kai.
Ruma Ma Mbora di Mpori Wera kemudian dilantik sebagai raja (Jena Teke, raja muda). Namun paman Jena Teke bernama Salisi yang pada saat itu menjabat sebagai Tureli Nggampo (jabatan setingkat menteri) tak menghendaki putra mahkota dilantik sebagai raja karena masih dianggap muda dan belum cakap memimpin kerajaan. Hasrat kekuasaan Salisi-pun muncul dan ia mulai mengatur siasat untuk membunuh Jena Teke.
Siasat Salisi untuk membunuh Jena Teke berjalan lancar tatkala ia mengajaknya pergi berburu di padang rumput Desa Wera yang dipimpin oleh Bumi Luma Rasa Nae. Di padang rumput tersebutlah Salisi mengobarkan api kemarahan hingga menyulutkan api di rumput hingga Jena teke dan rombongan terbakar hidup-hidup. Salisi-pun kemudian mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang raja dengan gelar Ruma Ma Ntau Asi Peka.
Sementara putra mahkota, La Kai yang masih hidup terus dikejar ke sejumlah wilayah dan bersembuyi di Teke, Sape hingga ke Sangia. Salisi yang telah bekerja sama dengan Belanda disokong oleh peralatan perang dengan perjanjian monopoli dagang. Di tengah pengejaran tersebutlah La Kai bertemu dengan saudagar dari Bugis, di sanalah La Kai masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Abdul Kahir. Kemudian membawanya di kerajaan Gowa.
“Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.” Alan Malingi dalam artikel Sejarah Masuknya Islam Masuk di Bima
Di kerajaan Gowa, ia belajar banyak hal, seperti pelajaran tentang agama, dia diajarkan oleh Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro. Kemudian belajar tentang sistem pemerintahan hingga strategi peperangan dilahapnya, hingga pada suatu waktu Abdul Kahir siap untuk kembali ke Bima dan merebut singgasana kerajaan dari kekuasaan Salisi.Berbekal bantuan dari tentara kerajaan Gowa, Salisi akhirnya didepak dari Istana (Asi Mbojo) dan Abdul Kahir resmi diangkat sebagai sultan pertama.
Sejak saat itulah Islam mulai disebarkan secara masif, mulai dari keluarga dan pejabat kerajaan hingga ke masyarakat menerima Islam sebagai agama resmi hingga saat ini.
Penulis: Ruslan