Lontar.id – Berhaji bukan lagi sekedar perjalan beribadah, tapi berkelindan dengan peristiwa-peristiwa yang lain. Berhaji tidak lagi sekedar perkara spiritualitas, tapi menyangkut interaksi sosial, perputaran perekonomian, akulturasi budaya, dan perjumpaan banyak bahasa dan bangsa.
Oleh sebab itu, menelisik haji lebih jauh amatlah penting, apalagi tatkala melihat fenomena hari ini. Masyarakat berbondong-bondong ingin melaksanakan praktik berhaji, terbukti semenjak tahun 2000-an, pemerintah akhirnya membatasi kuota jamaah haji karena membludaknya angka masyarakat yang ingin mengunjungi tempat yang dianggap sebagai pusat agama Islam.
Baca Juga: Amalan Berlipat Ketika Umrah: Tuhan Tidak Sekapitalis itu Ferguso
Dalam tulisan ini, saya mencoba melakukan penelusuran sederhana jejak perjalanan haji dari masa ke masa.
Pra Kolonialisasi
Belum ada rekam sejarah yang bisa memastikan kapan tepatnya dan siapa yang pertama kali melakukan perjalanan haji di Nusantara. Dalam beberapa catatan sejarah, orang-orang nusantara diperkirakan telah mendarat di Makkah pada awal abad 12. Akan tetapi, perjalanan mereka ke tanah Makkah tidak dalam rangka melakukan perjalanan haji, melainkan untuk kepentingan perdagangan.
Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M, Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, pantai Malabar pada tahun 1346 M.
Kolonialisasi
Jika dilakukan pengkronikkan sejarah, maka pelaksanaan haji pertama kali terjadi pada abad ke-16. Hal itu tentu saja merujuk kepada jejak sejarah yang mengungkapkan Islam datang ke nusantara pada abad ke-16. Sehingga, kemungkinan besar, perjalanan haji dilakukan pada abad tersebut, karena sebelumnya orang-orang nusantara telah mengetahui daratan Makkah meskipun kepentingannya untuk perdagangan.
Pemerintah Hindia Belanda mulai khawatir ketika melihat orang-orang yang pulang dari tanah suci mendapatkan banyak pengetahuan dan ilmu. Perjalanan haji nusantara tempo dulu tidak sekedar melaksanakan rukun-rukun haji tapi mereka banyak menetap di sana dalam waktu yang lama untuk menimba ilmu.
Dua haji yang paling kita kenal dan memberikan pengaruh besar terhadap bangsa Indonesia hingga hari ini adalah pendiri organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari.
Hal itu kemudian membuat orang-orang yang melakukan perjalanan haji harus diawasi karena mereka mulai melakukan pergerakan nasionalisme. Padahal sebelumnya, Perjalanan orang-orang Nusantara ke Mekkah membawa keuntungan ekonomi bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Organisasi yang didirikan pada tahun 1602 ini menyediakan kapal-kapal untuk keberangkatan mereka yang ingin berhaji.
Hindia Belanda sebagai pelanjut kekuasaan dari VOC mulai menetapkan peraturan berhaji atau yang dikenal dengan istilah ordonansi pada tahun 1825. Inti dari ordonansi diantaranya, pertama, harus mempunyai pas jalan yang diperoleh dari penguasa setempat. Kedua, harus mencukupi kebutuhan keluarga yang akan ditinggalkan. Ketiga, harus melaporkan kepulangannya kepada penguasa setempat. Keempat, diharuskan mengikuti ujian haji dan apabila lulus ujian akan diberikan setifikat haji dan diperbolehkan menggunakan pakaian haji. Namun apabila tidak lulus ujian haji maka dikenakan denda mulai dari 25 gulden sampai 100 gulden untuk tiap-tiap pelanggaran.
Adanya kebijakan ordonansi itulah sehingga orang-orang yang berhaji yang lulus ujian wajib menyematkan “Haji” di depan namanya. Selain itu, mereka yang berhaji wajib menggunakan pakaian khusus yang membedakannya dengan orang-orang yang belum berhaji. Itu dilakukan sebenarnya semata-mata sebagai penanda bagi pemerintah agar lebih mudah melakukan pengawasan.
Ordonansi diberlakukan agar negara bisa mengawasi para haji ini karena mereka menjadi ketakutan sendiri bagi penjajah. Para haji dianggap sebagai akar pemberontakan yang mengancam keberadaan penjajah di nusantara. Perang Jawa (1825-1830) dan pemberontakan-pemberontakan petani sepanjang paruh kedua abad 19 dipelopori oleh para pemuka agama dan haji.
Pada tahun 1899 terjadi perubahan besar terhadap budaya haji yang barangkali bisa menjawab mengapa jumlah masyarakat yang berhaji saat ini sangat besar. Perubahan itu dibawa oleh Snouck Hurgronje, ia menjadi orang pertama yang memberikan nasehat kepada pemerintah Hindia Belanda untuk justru membebaskan umat Islam berangkat berhaji.
Menurut Snouck membatasi jumlah jamaah haji tidak perlu dilakukan karena sebagian besar jamaah haji tidak menetap di sana. Sementara yang melakukan perlawanan adalah mereka para haji politis yang menetap dan tinggal lama belajar di Makkah.
Selain itu, memberikan kebebasan kepada umat Islam berhaji akan memunculkan tren berhaji yang meningkat. Fenomena itu justru bagus dan menguntungkan karena berhaji akan dianggap sebagai peristiwa yang biasa. Keuntungan lainnya, pemerintah juga bisa memungut pajak yang banyak.
Pandangan Snouck kemudian diterima oleh pemerintah Hindia Belanda yang berwujud pada wajah baru ordonansi. Dengan banyaknya orang berhaji, justru akan mengurangi radikalisasi beragama.
Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaannya, secara otomatis pengaturan haji di bawah kendali pemerintahan yang baru. Pada tahun 1950-1962, penyelenggaraan haji dilaksanakan secara bersama-sama oleh Pemerintah dan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI) yang didirikan tanggal 21 Januari 1950 dengan pengurusnya terdiri dari para pemuka Islam dari pelbagai golongan.
Pada tahun 1962-1964 pemerintah membentuk dan menyerahkan penyelenggaraan haji Indonesia kepada Panitia Perbaikan Perjalanan Haji (P3H).
Seiring berjalannya waktu terjadi pembenahan sistem pemerintahan yang berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan haji. Yakni, dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag). Selanjutnya struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji dan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966.
Pada masa reformasi, pemerintah membuat aturan baru yang dijewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Isinya adalah penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan kepengurusan penyelenggaraan yang baik, agar perlaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama, serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur.
Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian merevisi UU nomor 17/1999 dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.”
Yang menarik ketika menelusuri perjalanan haji di nusantara dari masa ke masa adalah terjadinya dekonstruksi dan desakralisasi peristiwa perjalanan berhaji yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang memperjuangkan kemerdekaan dengan peristiwa berhaji hari ini. Jumlah orang yang berhaji saat ini menandakan jika haji menjadi perjalanan ibadah yang sangat biasa. Orang-orang melaksanakan ibadah haji cukup dengan memenuhi urusan finansial, dengan kata lain berhaji sudah terlepas dari urusan-urusan politis lainnya.