Lontar.id– Sebagai perantau, Jakarta bukanlah kota yang menyeramkan selayaknya adagium yang sering kita dengar. Jakarta bahkan adalah kota yang ramah dan menyenangkan.
Betapa tidak, selayaknya perantau pada umumnya, merasa akan teralienasi pasti ada, namun Jakarta soal lain. Selayaknya Ibu, Ibu Kota Indonesia ini juga sangat menjaga anak-anaknya.
Setelah hampir dua tahun tinggal di Jakarta, orang-orang banyak yang menanyakan apakah saya masih beta dan selama tinggal di Jakarta apa saya mendapatkan banyak kesulitan.
Seperti Makassar dan tanah Bugis, kampung halaman saya, Jakarta juga terasa sangat dekat. Tidak sulit menemukan orang-orang berasal dari Sulawesi Selatan di kota ini, kota di mana pusat kebudayaan saling berinteraksi.
Hal itu bukan tanpa sebab, Jakarta memang telah dihuni oleh orang-orang Bugis dan Makassar sejak zaman dahulu, saat Jakarta masih berstatus Batavia.
Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya yang berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVIII menguraikan kronologi pembentukan perkampungan di Batavia. Melalui penelusuran itu, kita juga dapat menemukan, sejak kapan dan asal muasal orang-orang Bugis, Makassar bermukim di Batavia.
Sebenarnya selain orang-orang Bugis dan Makassar, etnis yang lain seperti Jawa, Ambon, dan Bali juga telah ada sejak dahulu, bahkan jumlah mereka lebih banyak.
Dalam catatan sejarah, jumlah orang Bugis-Makassar dan Bali lebih sedikit dibandingkan orang-orang Jawa. Akan tetapi, angka itu masih tinggi dibandingkan etnis-etnis yang lain, seperti Eropa, Cina, dan kelompok Mardiker.
Sebanyak 6.000 orang Bugis dan Makassar menempati wilayah di luar tembok kota Batavia, Ommenlanden pada abad ke-17. Sebagian besar di antara mereka juga bekerja sebagai budak.
Orang-orang Bugis dan Makassar yang mendatangi Ommenlanden ditempatkan oleh Pemerintah Agung di perkampungan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi antara etnis, di antara suku itu juga banyak yang menikah dan memiliki keturunan.
Di Kampung Pulau Gadung umpamanya, pada abad ke-17 terdapat kampung yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya berbagai kelompok etnis Indonesia; terutama di kampung Manggadoea, dekat benteng Jaccatra. Kampung ini dinamakan demikian karena di dekatnya ada dua pohon mangga besar.
Asal-Usul kedatangan Orang Bugis dan Makassar
Bermukimnya orang-orang Bugis dan Makassar bukan hal yang kebetulan terjadi. Seperti datangnya etnis lain di Batavia, orang-orang Bugis dan Makassar datang karena adanya peristiwa politik dan militer tertentu.
Hendrik E Niemeijer mengungkapkan jika pada tahun 1663, Raja Bugis Patoudjou, salah satu dari empat Raja Bugis tiba di Batavia Bersama anak buahnya. Mereka menumpang beberapa kapal kompeni.
Raja Bugis ini melarikan diri ke Buton, menghindari kejaran orang Makassar yang menilai kesepakatan yang dia tandatangani dengan kompeni sebagai pengkhianatan.
Saat tiba di Batavia, orang-orang Bugis tersebut terlebih dahulu harus tinggal sementara di perkebunan kompeni. Mereka diberi sebidang lahan di sebelah barat kali Krukut untuk mereka tinggali.
Sementara itu, pada 25 Oktober 1678, Kapal Tertholen membuag sauh di Teluk Batavia. Kapal itu membawa Raja Arung Palakka yang terkenal beserta sekelompok besar orang Bugis.
Raja Arung Palakka saat itu juga menandatangani kesepakatan dengan kompeni, sehingga antara 1667-1669 mereka akhirnya berhasil menguasai kerajaan Gowa (Makassar).
Mengingat pengorbanan besar itu, Pemerintah Agung merasa berkewajiban membawa mereka ke Batavia.
Adapun untuk membiayai hidup para keluarga Bugis di pulau-pulau pertama, Raja Arung Palakka mendapat 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan kepala Kampung Makassar maka Karaeng Bisse juga diberi 400 ringgit untuk keperluan rakyatnya.
Menurut Niemeijer, segala bentuk pemberian yang dberikan orang-orang Bugis dan Makassar bukanlah bentuk kdermawanan, melainkan investasi dalam sumber daya tentara.
Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Trunajaya dari Madura yang ketika itu hendak menggulingkan Raja Mataram. VOC akhirnya memanfaatkan orang-orang Makassar dan Bugis sebagai pasukan yang dapat menumpas pemberontakan tersebut.
Baca Juga: Ketika Kerajaan Gowa Berhasil Melakukan Islamisasi di Bima
Arung Palakka sadar sekaligus maklum saat rakyatnya dimanfaatkan. Tanpa malu-malu ia kemudian meminta upah lebih besar lagi untuk rakyatnya sebsar 12.000 real. Demi mengikat Arung Palakka dan mencegah rakyatnya merampok, uang itu segera diberikan.
Lahan yang ditempati Arung Palakka dan rakyatnya merupakan lahan pinjaman dari kompeni dan tidak diberi hak milik. Begitupun dengan sebidang lahan kompeni yang dipinjamkan kepada kelompok orang Makassar.