Dalam ceramahnya, Ustaz Syuhada Bahri, orang dekat dari almarhum Mohammad Natsir, menyebut kalau Natsir menolak tawaran melanjutkan kuliah dan memilih belajar agama saja.
Jakarta, Lontar.id – “Pendidikan tertinggi Pak Natsir itu cuma sampai SMA. Bukan tidak ada tawaran untuk lanjut kuliah, tapi beliau lebih memilih untuk belajar ngaji sama Ustaz (Ahmad) Hassan,” begitu kata Syuhada Bahri, pembesar Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Syuhada merasa bukan murid dari Mohammad Natsir. Namun, selama lima tahun, ia pernah bekerja sama dengan Mohammad Natsir di DDII.
Dalam video ceramah itu, dijelasi pula jika Natsir menolak tawaran ke Belanda untuk bersekolah ekonomi dan hukum di Jakarta. Orangtuanya juga meminta Natsir untuk mengambil kesempatan bersekolah hukum.
Natsir emoh. Penolakannya itu disimpulkan oleh Syuhada, sebagai momen Natsir mendekatkan diri kepada Allah dan belajar lebih banyak lagi.
“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah yang menjadi guru orang itu. Tampaknya, Pak Natsir meninggalkan dua fakultas bergengsi dan belajar ngaji, karena ingin menjadikan Allah sebagai guru,” bebernya.
Saking hebatnya Natsir dalam belajar dan mencerap dan menyerap ilmu. Ia bisa membuat dirinya berada di atas para pemikir besar di Indonesia.
Banyak orang gede yang terdiam saat Natsir berbicara. “Ada Prof Rasjidi, ada Sjafruddin Prawiranegara, itu semuanya bergelar. Tetapi, kalau Pak Natsir berbicara, semuanya diam.”
Mengapa diam? Sebab seluruh bidang yang dikuasai mereka, Natsir paham dan menguasainya.
“Karena saat Pak Wibisono bicara soal ekonomi, Pak Natsir bisa berbicara soal ekonomi. Pak Sjafruddin berbicara tentang hukum, Pak Natsir bisa bicara soal hukum. Kalau ada politisi bicara soal politik, beliau mengerti politik.”
Itu yang membuat Syuhada berkesimpulan, kalau ibadah dan ketekunan Natsir membuatnya menjadi begawan pendiri bangsa Indonesia.
“Kesimpulannya, Pak Natsir berupaya menjadikan Allah sebagai guru. Sampai pada usia 80-an, Pak Natsir selalu belajar. Kenapa tahu? Karena kita setiap hari ke rumahnya.”
Natsir Remaja yang Kritis
Natsir yang lahir pada 17 Juli 1908 dan berpulang pada tanggal 6 Februari 1993, diceritakan bahwa setelah tamat dari Mulo, Mohammad Natsir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Midlebare School (AMS/setara SMA kalau sekarang) di Bandung.
Saat itu, pilihan Natsir harus mengarungi lautan dan meninggalkan ranah Minang sebagai tanah kelahirannya. Pada bulan Juli 1927, sewaktu ia berusia 19 tahun, mulailah Natsir belajar di AMS dan tahu ilmu pengetahuan Barat.
Tak hanya itu, cakrawala berpikirnya makin luas setelah tahu sejarah peradaban Islam, Romawi, Yunani dan Eropa, melalui buku-buku berbahasa Arab, Perancis dan Latin (Muhammad Iqbal dan Amin Husein, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer).
Bibit kritisnya bermula saat belajar di AMS juga. Di sana, lewat makalah yang dibuatnya, ia membuka borok sistem kerja dalam pabrik gula di Jawa, di hadapan kawannya serta guru Belandanya.
Lewat bukti akurat, ia menyangkal pandangan gurunya yang beranggapan bahwa sistem kerja kolonial tersebut menguntungkan petani. Malah, menguntungkan para pemilik modal dan bupati yang memaksa rakyat supaya menyewakan tanahnya kepada pabrik dengan sewa yang rendah. Itu katanya.
Disimpulinya kalau sistem macam itu menjadikan petani menjadi semakin miskin dan menderita, sebab dipeluk utang yang berat melulu. Tak hanya itu, pada diskriminasi rasial sistem kolonial juga, ia sinis. Itulah perlawanannya (Darmawijaya, Moh. Natsir: Pendekar Islam dari Minang).
Inspirasi dan Guru Natsir
Soal politik, Natsir gemar melahap buku-buku politik dan mengikuti pidato tokoh-tokoh politik seperti Haji Agus Salim, Cipto Mangunkusumo, dan lain-lain.
Disebabkan corak lingkungan di AMS, yang berpikir dan bergaul ke-Barat-Baratan, hingga dan bangga mengidentifikasikan diri dengan orang Belanda, maka Natsir berkesimpulan kalau kebanggaan itu sering berubah menjadi kesombongan.
Islam di mata mereka seakan hina dan terbelakang, jauh dari kesan agama modern dan progresif. Untuk hal ini, kesimpulannya tidak asal, sebab Natsir merasakan sendiri bagaimana besarnya pengaruh buku-buku Barat berbahasa Inggris, Belanda, dan lainnya.
Saking gusarnya, Natsir kembali aktif dalam organisasi JIB Bandung. Organisasi yang pernah ia masuki dulu ketika masih sekolah di MULO Padang. Di JIB Bandung, pada tahun 1928, ia terpilih sebagai ketua.
Di JIB Bandung pula, Mohammad Natsir bertemu dengan beberapa tokoh politik Islam yang nantinya kaan menjadi gurunya. Seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Syaikh Ahmad Syurkati.
Selain mereka, ada seorang tokoh lagi yang paling berpengaruh bagi kehidupan Natsir, yaitu Ahmad Hassan, Pimpinan Persatuan Islam (Persis). Mereka inilah yang banyak mempengaruhi intelektualitas dan keagamaan Muh. Natsir (Darmawijaya, Moh. Natsir: Pendekar Islam dari Minang).
Soal Hassan, sosok ini sangat berpengaruh bagi hidup Natsir. Natsir sering datang di rumah Hassan di Jalan Pakgadem Bandung. Di sanalah Natsir belajar ilmu agama.
Tak sampai di situ, diskusi pada sore hari kerap dilakukan dengan Hassan. Kebiasaan itulah yang membuat Natsir menjadi tokoh pendiri bangsa yang sangat layak diteladani.
Natsir yang Sederhana
Sentuhan-sentuhan Hassan telah mengubah pandangan Mohammad Natsir dalam melihat hidup. Efeknya, pada tahun 1930, saat Natsir tamat dari AMS di Bandung.
Sebagai seorang pelajar yang cerdas, Natsir berhasil memperoleh nilai rapor yang bagus. Hasilnya, ia berhak untuk mendapatkan beasiswa Rp130 dari Pemerintah Hindia Belanda.
Sleanjutnya ia disuruh memilih di Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta atau di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam.
Namun, pertemuan dengan Hassan membuatnya urung. Cita-citanya untuk dapat menjadi meester in de rechten, seorang ahli hukum, pun ditinggalkannya.
“Aneh! Semua (beasiswa) itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali,” tulis Natsir kepada anak-anaknya dalam satu kesempatan.
Natsir saat itu lebih memilih menjadi guru agama dan jurnalis, di samping melanjutkan belajar agama pada Hassan di Persis. Gaji dari pekerjaannya pun terbilang kecil.
Pada tahun 1946, Natsir dipercaya sebagai Menteri Penerangan. Menjadi menteri, tak lantas membuatnya bermewah-mewahan. Bahkan George McTurnan Kahin, Guru Besar dari Universitas Cornel, heran padanya.
“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku untuk memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.
Sementara dalam buku saku Tempo, Natsir: Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Natsir disebut betah menggenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut.