Lontar.id – Berbicara tentang budaya di Indonesia, ada banyak sekali bahkan tak mampu dihitung jari. Hampir setiap daerah di pelosok negeri, mempunyai budaya sendiri dan berbeda dengan daerah lain. Ini yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman yang sangat kaya. Tetapi ada beberapa budaya di Indonesia yang sama, meski dari segi daerah dan nama budayanya berbeda, tapi pada prakteknya sama saja.
Suatu masyarakat pasti punya budaya dan tradisi masing-masing. Tradisi tersebut terus tumbuh dilingkungan mereka, berdasarkan nilai kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang. Tradisi masyarakat juga sering dipengaruhi oleh adanya sistem kepercayaan yang sudah tertanam kuat. Beberapa tradisi masyarakat ada yang unik hingga adapula yang ekstrem.
Ada banyak sekali tradisi di Indonesia yang sangat unik hingga dianggap sangat ekstrem, karena cara pelaksanaan atau prosesi upacaranya menyakiti diri sendiri. Praktik seperti itu dianggap sebagai, salah satu bentuk ucapan dari rasa syukur maupun kesedihan yang amat dalam yang mereka alami.
Seperti tradisi Iki Palek atau potong jari oleh wanita di suku masyarakat Dani Papua. Mereka akan memotong salah satu jarinya, ketika ada anggota keluarganya meninggal dunia. Tradisi Iki Palek mereka sebut sebagai ungkapan kesedihan, karena hanya dengan memotong salah satu jari kesedihan mereka dapat terwakili.
Keunikan tradisi di Indonesia kadang menjadi icon dan menjadi pembeda dengan daerah lain, lewat tradisi tersebut daerah mereka dikenal oleh masyarakat luas. Sehingga terkadang daerah dengan tradisi yang unik, menjadi salah satu obyek wisata budaya yang sering dikunjungi oleh para wisata.
Seperti budaya kesenian yang ada di masyarakat Kabupaten Bima. Di Bima ada banyak sekali kesenian yang muncul dari masyarakat, terutama dibidang tarian. Meskipun dikalangan Kesultanan Istana Bima (Asi Mbojo) muncul berbagai tarian kesenian, tetapi dikalangan masyarakat pada umumnya memiliki beragam tarian.
Pada umumnya, tarian yang lahir dan berkembang dari masyarakat, adalah perwujudan dari semangat perlawanan masyarakat Bima terhadap kaum penjajah (kolonial Belanda) di masa peperangan merebut dan mempertahankan wilayahnya. Kesenian masyarakat berupa tari tradisional, pernah merasakan masa kejayaan di masa kesultanan Abdul Kahir Sirajuddin (1640-1682), dia merupakan sultan bima yang ke-2.
Tari tradisional pada masa itu, cukup digandrungi oleh masyarakat. Pagelarannya pun dilaksanakan di Istana Bima saat menerima tamu maupun di kalangan masyarakat bawah, ketika masuk musim tanam, acara khitanan, sunatan dan acara lainnya.
Salah satu tari kesenian yang dilakukan masyarakat, khususnya di Desa Lambitu yaitu tarian Mpa’a Lanca atau biasa disebut dengan adu betis. Tarian ini pada umumnya hanya dilakukan oleh kalangan lelaki dewasa yang sudah cukup umur dan tidak dianjurkan pada anak-anak kecil. Karena pada peragaannya, mereka akan saling menguji atau adu kekuatan otot betis.
Tarian ini dilakukan pada saat acara-acara besar seperti pernikahan hingga acara sunnatan di suatu masyarakat. Para lelaki dewasa yang akan memperagakannya, terdiri dari dua tim, masing-masing tim terdapat dua orang. Dua orang dalam satu tim tersebut akan mengambil posisi bertahan, atau memasang posisi kuda-kuda sebelumnya dua orang lainnya menendang dengan keras dari arah belakang.
Dalam sebuah penelitian skripisi yang ditulis oleh Taufiqurrahman dengan judul tulisan “Peran Masyarakat dalam Melestarikan Kesenian Tarian Mpa’a Lanca (Adu Betis) Sebagai Upaya Menjaga Kebudayaan Lokal di Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima” menuliskan saat permainan dilangsukan, akan diiringi dengan alunan musik tradisional berupa, gendang, gong, seruling. Tarian tersebut belum akan berhenti sebelum otot lawannya mengalami kejang-kejang hingga ada yang mengalami patah tulang. Sedangkan durasi waktu yang digunakan biasanya sampai 10 hingga 15 menit.
Pada usai acara ijab kabul kedua mempelai pengantin, pengantin laki-laki akan diarak keliling desa dan diantar ke pelaminan. Para pengantar pun berkumpul dan melakukan tarian Mpa’a Lanca. Kegiatan tersebut dalam tulisan Taufiqurrahman mencatat agar masyarakat di Desa Sambori tetap menjaga nilai-nilai budaya yang mempersatukan mereka dan juga membangun kebersamaan dalam kegiatan gotong royong.
“Kesenian tarian mpa’a lanca (adu betis) dimainkan oleh emapt orang lai-laki dewasa kemudian yang menyerang adalah dua orang laki-laki dengan ketentuan menendang betis lawannya dan dua orang lainnya bertahan” tulis Taufiqurrahman (Hal: 30).
Kesenian adu betis ternyata bukan saja dilakukan oleh masyarakat di Desa Sambori, Bima. Tetapi di Sulawesi Selatan terutama di kabupaten Bone, ada juga budaya yang sama. Orang Suku Bugis Bone mengenalnya sebagai budaya Mappalanca (adu betis). Kegiatan ini dipraktekkan biasanya setahun sekali, saat musim panen besar dilakukan. Pada prakteknya tak ada perbedaan yang signifikan, karena hanya dilakukan oleh para laki-laki dewasa yang menendang betis dua orang yang sudah bersiap-siap memasang kuda-kuda.
Saya melihat ada keterkaitan budaya masyarakat Bima dengan Suku Bugis Bone. Meskipun saya belum menemukan literatur yang membahas secara khusus, bahwa tarian Mpa’a Lanca dan Mappalanca berasal dari daerah Bone atau dari Bima. Jika menelusuri jejak sejarah, kerajaan Bima dengan kerajaan Gowa-Tallo pada masa kesultanan Abdul Kahir I (La kai), sudah memiliki hubungan diplomatis kedua kerajaan terutama soal penyebaran agama Islam melalui jalur kesenian. Orang-orang suku Bugis-Makassar punya peran besar membawa Islam masuk ke Bima, dengan mengirimkan berbagai ulama yang berdakwa di Bima. Melalui penyebaran agama lewat kesenian, memungkinkan terjadinya akulturasi budaya, sehingga budaya kesenianya tersebut tumbuh.