Lontar.id – Jejak sejarah Islam di Sulawesi Selatan sejauh ini cukup dapat dipetakan. Dalam studi sejarah, Islam mulai masuk dan diterima di kerajaan Sulawesi Selatan pada paruh abad ke-16 dan menjadi awal dari perubahan besar kebudayaan di Sulawesi Selatan. Hari ini, kita dapat melihat bahwa di antara wilayah-wilayah lain, kita sebut saja misalnya Jawa, Sulawesi Selatan mendapatkan pengaruh yang sangat kuat oleh Islam.
Kepercayaan-kepercayaan lokal yang awalnya mengalami persilangan dengan ajaran Islam hampir tidak terlihat jejaknya, alih-alih menemukan banyak masyarakat yang masih menjalankan sepenuhnya kepercayaan lokal mereka. Sebagai contoh, dalam suku Jawa meskipun sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam, akan tetapi ritual adat seperti slametan masih cukup kental bahkan kita masih mengenal istilah Islam kejawen. Sementara di Sulawesi Selatan, istilah tersebut tidak ada.
Islamisasi yang terjadi di Sulawesi Selatan, diterima ataupun tidak telah menggeser kebudayaan lokal dan pada akhirnya hari ini berhasil mengganti identitas kelokalan masyarakat Sulawesi Selatan. Pelras mencatat dalam bukunya The Bugis (1996) bahwa para penyebar agama Islam hanya butuh waktu beberapa tahun untuk memberlakukan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Hal tersebut menurutnya tidak terlepas dari adanya proses penyesuaian antara kepercayaan lokal dan Islam.
Sejarah mencatat bahwa Islamisasi tersebut menyentuh tiga suku di Sulawesi Selatan, yakni Bugis, Makassar, dan Mandar. Adapun suku Toraja yang menjadi bagian dari Sulawesi Selatan adalah satu-satunya suku yang tidak mendapatkan Islamisasi.
Dalam banyak literatur, sejarah masuknya Islam di Toraja hampir tidak ditemukan jejaknya. Ada dua pilihan mengapa jejak sejarah tersebut tidak terekam. Yang pertama, Islam memang tidak pernah menyentuh daratan Toraja, dan yang kedua, tidak adanya pencatatan sejarah yang ketat.
Apabila dilihat dari konteks historisnya, Suku Toraja yang masuk dalam wilayah Sulawesi Selatan, rasanya tidak mungkin jika penyebaran ajaran Islam samasekali tidak memasuki wilayah tersebut. Apalagi saat melihat bagaiamana pengaruh Islam terhadap suku Bugis sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan hingga hari ini – hampir sepenuhnya telah menggeser semua kepercayaan masyarakat lokal Sulawesi Selatan, termasuk tolotang.
Gagalnya Islamisasi di Toraja
Suku Toraja dikenal sebagai suku tertua di antara suku yang ada di Sulawesi Selatan, diantaranya Bugis, Mandar, dan Makassar. Oleh sebab itu, muncul anggapan bahwa leluhur suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan berasal dari suku Toraja. Anggapan tersebut berangkali berasal dari adanya kemiripan-kemiripan tentang asal usul manusia diantara suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan. Misalnya saja, saat Pelras melihat bahwa suku Bugis memiliki kemiripan dengan suku Toraja.
“Orang Bugis dan Makassar zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi. Akan halnya Toraja, sebagian dari mereka — yang berdiam di Rantepao, Ma’kale, dan Mengkendek — juga memiliki struktur mitos yang sama.” (The Bugis, 1996)
Meskipun di antara suku-suku tersebut memiliki sejarah dan asal-usul yang sama, akan tetapi dalam perkembangannya, kebudayaan dan struktur sosial di Toraja sangat berbeda dengan suku-suku yang lain utamanya pada suku Bugis, bahkan sebelum Islam diterima di Sulawesi Selatan.
Toraja berbeda halnya dengan Bugis tidak menganut sistem pemerintahan kerajaan (terpusat). Oleh sebab itu, masyarakat Toraja sulit menganut agama tertentu selain anismime karena struktur sosial masyarakat Toraja yang tidak dikendalikan oleh sistem kerajaan terpusat yang mengharuskan mereka menjalankan agama tertentu. sebagaimana diketahui bahwa, Islam pertama kali datang di Sulawesi Selatan menyasar kerajaan Gowa ataupun Tallo.
Selain itu, masyarakat Toraja dikenal sebagai masyarakat yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah yang lain menjadi penghambat islamisasi di Toraja. Bahkan, orang-orang Toraja dianggap tidak memiliki rumah, adapun tongkonan hanya sebagai tempat penyimpanan harta bukan sebagai tempat tinggal.
Sekalipun berpindah-pindah, suku Toraja dikenal sangat memiliki kedekatan terhadap tanah dan memiliki ikatan yang kuat terhadap kerabatnya. Edwin The Jong dalam tulisannya Crisis and Ceremonies: An Intriguing Paradox mengungkapkan bahwa orang-orang Toraja memiliki kesadaran yang kuat dalam mempertahankan identitasnya.
” Torajans tend to be ready to move from place to place and have a long history of out-migration, but at the same time most migrants maintain strong ties with kin in their homeland. Torajans have a strong sense of identity, and their extensive cultural repertoire (for example, ancestral houses and large funeral ceremonies) and sense of kinship still constitutes the frame of reference in most Torajan lives, whether at home or away.”
Faktor lain yang membuat Islam gagal mengislamkan masyarakat Toraja karena babi. Kita mengetahui bersama, masyarakat Toraja menjadikan babi sebagai hewan utama untuk dikonsumsi ataupun digunakan dalam ritual-ritual adat. Islam sebagai agama yang mengharamkan hewan tersebut untuk dikonsumsi, sehingga kebiasan Toraja terhadap babi sulit melebur.
Gagalnya islamisasi di Toraja sejak awal merupakan bagian dari siklus kegagalan Islamisasi di Toraja yang dibawa oleh Kahar Muzakkar. Sejarah penuh luka pernah tertoreh di Sulawesi Selatan yakni saat Kahar Muzakkar bersama gerombolannya membantai semua bentuk kepercayaan lokal yang ada di suku Bugis. Pada masa tersebut, dengan pola yang sama, Kahar Muzakkar memasuki wilayah Toraja yang masih memiliki kepercayaan terhadap agama lokal yang masih sangat kental karena sebelumnya belum pernah melakukan penyesuaian dengan agama Islam. Berbeda halnya dengan suku Bugis yang semenjak kedatangan Islam telah diterima di kerajaan.
Bahkan melalui penelitian yang dilakukan oleh Andi Muhammad Akhmar, Islamisasi Bugis dapat dilihat melalui pengkajian atas teks I Lagaligo sebagai kitab masyarakat Bugis yang telah mendapatkan pengaruh ajaran Isam.
“Perkembangan La Galigo tidak hanya dalam bentuk penambahan episode ceritanya, melainkan muncul cerita-cerita baru yang telah mendapatkan pengaruh Islam.” (Islamisasi Bugis, 2018)
Citra Islam yang buruk tersebut membuat Islam tidak dapat menancapkan kepercayaannya sampai hari ini. Melihat massifnya populisme Islam di Sulawesi Selatan, suku Toraja dapat dikatakan menjadi satu-satunya daerah yang Islam tidak menjadi mayoritas. Lokalitas Toraja yang selama ini menjadi nilai jual dalam dunia pariwisata agaknya cukup meragukan jika Islam dapat menembus kepercayaan Toraja terhadap Islam.