Lontar.id – Setidaknya ada sembilan tantangan bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam menegakkan hukum pemilu pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar membeberkan kesembilan tantangan tersebut.Tantangan pertama menurut Fritz soal isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
“Intimidasi dan ancaman kekerasan yang bersifat SARA acap kali terjadi. Karena itu, Bawaslu membuat Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) yang dijadikan dasar dalam melakukan fungsi pengawasan baik untuk pilkada atau pemilu,” ucapnya saat menjadi dosen tamu di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, seperti dikutip dari keterangan resmi Bawaslu, Jumat (17/1/2020).
Selain itu, lanjutnya, IKP juga berfungsi untuk memberikan metodologi yang berbeda antardaerah dalam hal pengawasan.
Tantangan kedua adalah politik uang. Masalah ini, kata dia, memiliki kendala dalam penindakan bagi yang melakukan pelanggaran dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 523 ayat (2) disebutkan hanya bisa diterapkan kepada pelaksana kampanye.
Ayat (2) menyebutkan setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilihan umum yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp48 juta.
“Dalam Pasal 523 ayat (2) hanya ditekankan pada pelaksana kampanye. Tapi kalau orang antah berantah yang memberikan uang tidak akan terjerat politik uang,” jelasnya.
“Kecuali politik uang yang dilakukan pada masa pemungutan baru bisa terkena siapa saja yang memberikannya,” tambah Fritz.
Ketiga, dana kampanye dimanipulasi. Fritz mencontohkan manipulasi catatan belanja, manipulasi sumbangan atau ketidaksesuaian antara laporan dengan pemasukan dan pengeluaran di lapangan.
Tantangan keempat, adalah netralitas aparatur sipil negara (ASN), yang menurutnya menjadi salah satu persoalan paling banyak saat pemilu dan pilkada. Apalagi dari 270 daerah yang mengikuti Pilkada 2020, sebanyak 230 diantaranya berasal dari petahana.
Persoalan keempat, menurut Koordinator Divisi Hukum, Data, dan Informasi Bawaslu yaitu isu logistik. Kelima, isu mengenai integritas dan profesionalitas penyelenggara dalam menjamin pemilih yang demokratis.
“Tantangan keenam yaitu persepsi dalam penanganan pelanggaran pidana. Masih terdapat perbedaan pandangan mengenai penanganan pelanggaran pidana di Sentra Gakkumdu,” ujarnya.
Isu ketujuh, sambung Fritz, soal calon tunggal. “Calon tunggal itu menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri,” dia menilai.
Tantangan kedelapan, kampanye di luar jadwal. “Terakhir, perlindungan pelapor dan saksi yang belum memiliki regulasi mengenai perlindungan pelapor atau saksi pelanggaran pemilu pilkada,” tutup dia.