Jakarta, Lontar.id – Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto di MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan Sabtu (13/7/2019) kemarin, menjadi titik balik bersatunya kedua kubu yang terlibat rivalitas pada Pemilu 2019. Jokowi dan Prabowo telah mempertontonkan sikap sebagai seorang petarung, yang pada akhirnya menerima apapun hasil dari pesta politik.
Meski sejumlah pendukung Prabowo belum sepenuhnya dapat menerima pertemuan tersebut dan cenderung menganggap Prabowo telah mengangkat bendera putih lalu memilih berkoalisi dan meninggalkan oposisi. Namun, tak ada yang bisa memastikan sebelum pernyataan resmi dari Prabowo diungkapkan.
Sebagian pendukung Prabowo menganggap, perjuangan suci membongkar kecurangan pemilu tak bisa ditawar-tawar lagi, ia harus tetap diperjuangkan kendati tak lagi bersama dengan Prabowo.
Memang tak mudah menerima kekalahan, apalagi kalah berturut-turut, tapi Prabowo sudah mematahkan anggapan itu tidaklah benar. Seorang petarung sejati tahu kapan saatnya maju dan kapan saatnya juga harus bersikap ksatria menerima kekalahan.
Sikap ksatria Prabowo menerima kemenangan Jokowi, tidak lantas diikuti seluruh pendukungnya, terutama kelompok ormas Persaudaraan Alumni 212. Mereka telah menarik diri dari dukungan Prabowo dan tetap konsisten berjuang sembari menunggu instruksi selanjutnya dari Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab.
Tetapi yang jauh lebih penting, Jokowi sebagai pemenang dapat merangkul kelompok oposisi, sedangkan Prabowo sebagai kepala oposisi menerima dengan legowo. Sebuah sikap yang patut diteladani oleh siapapun, terutama elite politik yang bertarung di tingkat lokal. Menang dan kalah itu urusan kesekian, tetapi persatuan harus tetap nomor satu di atas segala-galanya.
Sekeras apapun kontestasi politik yang memicu potensi lahirnya perpecahan di masyarkat, hingga upaya saling lapor melapor ke pihak berwenang, namun pada akhirnya dapat menyatu kembali demi Indonesia. Di sini saya sangat mengapresiasinya, baik kepada Jokowi maupun Prabowo.
Pertemua tersebut tidak harus dicurigai sebagai upaya manuver Prabowo untuk masuk dalam kabinet atau meminta jatah kursi menteri, tetapi kita harus melihatnya jauh ke depan, yaitu rasa persatuan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Bila muncul anggapan yang demikian di publik, bahwa Prabowo bertemu dengan Jokowi, alih-alih rekonsialiasi tetapi tujuannya minta jatah kursi Menteri, menurut saya tidaklah tepat.
Sebab, cepat atau lambat Prabowo pasti akan menegaskan bahwa dirinya akan menjadi oposisi di luar pemerintahan, mengawal program dan kinerja pemerintahan lima tahun ke depan.
Prabowo sudah mewanti-wanti, ia akan mendukung pemerintah sekaligus sebagai alat untuk mengontrol. Sikap ini sangat penting bagi proses demokrasi karena ada chek and balance oleh pihak oposisi.
Kewenangan pemerintahan yang berlebihan tidak akan melahirkan demokrasi yang sehat, justru akan melahirkan pembusukan. Korupsi tumbuh subur, kolusi dan nepotisme semakin merajalela dan tak terkontrol, hingga pada akhirnya menuju negara gagal.
Di situlah pentingnya ada kelompok partai oposisi yang mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah, bila suatu waktu kebijakan tersebut tidak pro terhadap masyarakat dan melindungi kerajaan bisnis perusahaan tertentu.
Bukan suatu hal yang mustahil dilakukan Jokowi melindungi kerajaan bisnis perusahaan, pasalnya orang-orang di sekelilingnya merupakan pemilik bisnis yang menguasai sebagian besar tambang di pelosok negeri. Mereka berkontribusi besar memenangkan Jokowi-Ma’ruf dengan dukungan finansial yang tak sedikit jumlahnya.
Timbal baliknya, Jokowi harus membantu dan melindungi perusahaan tersebut dengan pelbagai kebijakan yang menguntungkan mereka, sedangkan warga jadi korban dari kebijakan itu dengan merelakan sebagian besar tanahnya tercemar atau tergusur alat berat.
Dalam politik, ada adagium yang sangat populer, yaitu tak ada makan siang gratis. Bantuan yang kelihatan di permukaan seolah-olah tak meminta timbal balik, namun pada kenyataannya beda, justru mereka-mereka ini meminta jatah jauh lebih besar dengan mempermudah kelancaran bisnisnya. Semua ada harganya dan harus dibayar dengan pantas.
Di situlah tantangan Jokowi saat ini, menjembatani keinginan korporasi yang hendak membangun cangkang perusahaan dengan melabrak aturan. Di sisi lain, Jokowi harus bisa memenuhi tuntutan masyarakat agar perusahaan yang melabrak aturan harus ditindak tegas tanpa pandang bulu.
Pertanyaannya, apakah Jokowi mampu mendamaikan dua kepentingan yang saling berlawanan arah? Atau justru terjerumus dalam lembah kepentingan korporasi dengan mengorbankan masyarakat.
Nah, di sinilah menurut saya, pentingnya peran Prabowo sebagai kepala kelompok oposisi bersama dengan PKS. Sumbangsih terhadap negara tidak hanya sebatas masuk dalam struktur pemerintahan, melainkan dapat berkontribusi di luar sebagai oposisi.
Saya justru optimis melihat sikap Prabowo terhadap pembangunan Indonesia ke depannya. Prabowo bisa menjadi lampu kuning peringatan yang menyalak dan galak, bila pemerintahan berbuat sewenang-wenang, membuat kebijakan menguntungkan pihak tertentu.
Pada akhirnya, kita semua menaruh harapan besar pada Jokowi membangun Indonesia raya, demikian juga pada Prabowo sebagai lampu kuning pengingat agar pemerintah tetap berjalan sesuai Konstitusi yang sudah ditetapkan.
Penulis: Ruslan