Lontar.id – Mencermati perkembangan politik pasca pemilu, ada yang bikin hati ‘sesak’ dengan manuver dan deal politik oleh elite partai. Utamanya manuver Partai Gerindra yang sangat terbuka bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja (KIK) Jokowi-Ma’ruf.
Berawal dari pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Moda Raya Transportasi (MRT) Jakarta lalu, kemudian berlanjut pertemuan dengan Ketua Partai PDIP Megawati Soekarno Putri.
Pertemuan itu telah diindikasi adanya sejumlah kesepakatan yang dibangun Prabowo bersama elit PDIP. Prabowo telah setuju Gerindra akan masuk di koalisi pemerintahan serta hendak membawa biduk kapal koalisi partainya masuk bersama seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Gerindra seakan tak tahan berpuasa politik selama lima tahun ke depannya, seperti yang pernah dirasakan di pemilu 2014 lalu. Posisi kunci di pemerintahan dipegang koalisi Jokowi, meskipun peran Gerindra sebagai partai oposisi saat itu, tidaklah menjadi suara mayoritas, karena Golkar dan PAN merapat ke Jokowi-JK.
Prabowo tak ingin mengulang kembali kejadian pada pemilu lalu, bertahan sebagai kelompok oposisi, mengkritik pemerintahan melalui lembaga legislatif, namun hasilnya tak signifikan.
Berbeda halnya, bila Prabowo dengan gerbong Gerindra dibawa masuk dalam biduk kapal Jokowi-Ma’ruf, setidaknya Gerindra bisa mengusulkan program pemerintahan dan saling bekerjasama. Dan yang paling penting tentunya deal soal ‘jatah’ di Pemerintahan. Benarkah Gerindra bakal punya peran strategis di kabinet Jokowi-Ma’ruf setelah masuk di koalisi?
Saya ragu bila Gerindra punya peluang sebesar itu, bisa memainkan skenario hit and run lalu wait and see. Jokowi di periode kedua, tidak lagi seperti pada periode pertamanya, penuh pertimbangan bila mengambil kebijakan, atau harus deal dengan kelompok oposisi.
Jokowi di periode kedua, agak lebih leluasa menentukan pilihan, bila Gerindra memainkan skema tersebut, bukan tidak mungkin bakal didepak keluar dari koalisi. Apalagi parpol koalisi merasa terganggu dengan bergabungnya Gerindra, karena akan mengurangi porsi menteri dan kehilangan kursi pimpinan MPR.
Kalau menelisik sedikit ke belakang, sewaktu kampanye pemilu, Prabowo adalah tokoh yang paling keras menyerang pemerintahan Jokowi. Jokowi kerap dinarasikan sebagai antek asing dan boneka Megawati yang bisa dikontrol melelaui remot.
Jokowi juga dituduh suka mengkriminalisasi kelompok-kelompok ulama di Indonesia, menjebloskan mereka ke dalam sel tahanan. Bahkan kasus imam besar Front Pembela Islam (FPI) dianggap ada campur tangan Jokowi di belakangnya.
Kelompok islam yang diwakili oleh alumni 212 adalah yang paling getol dalam masalah ini, mereka adalah pendukung Prabowo. Rangkaian aksi dan acara berlabel politik tapi dibungkus dengan kegiatan agama seringkali digelar seperti di Monumen Nasional (Monas).
Tujuan mereka cuma satu, tumbangkan rezim Jokowi yang tidak mengapresiasi islam dengan mendorong Prabowo sebagai representasi. Namun kelihatannya, Prabowo bukanlah dari latar belakang gerakan islam yang punya singgungan langsung, melainkan karena momen dan kesamaan menimbang rezim Jokowi, akhirnya kelompok islam mendukung Prabowo.
Tetapi apa yang terjadi setelah Prabowo kalah, dulu Prabowo dengan lantang mengkritik pemerintahan Jokowi, kini lunak dengan tawaran kekuasaan. Apa yang sebenarnya yang diperjuangkan Prabowo, Islam atau kekuasaan? Saya kira pendukung Prabowo bisa menjawab pertanyaan ini.
Puasa Setia PKS
PKS sudah mendapatkan konfirmasi terkait Gerindra yang akan bergabung di koalisi Jokowi, tak tanggung-tanggung PKS juga diajak bergabung, menikmati empuknya kursi kekuasaan.
Ketum PKS Sohibul Iman dalam keterangannya menolak partai oposisi bergabung dengan koalisi, hal itu demi menjaga marwah demokrasi yang sedang diperjuangkan. Bila Gerindra dan PKS melunak, lalu siapa lagi yang akan menjaga sendi-sendi demokrasi.
Pemerintahan dengan dukungan mayoritas partai politik, akan menciptakan eksekutif yang terlalu besar kewenangannya, karena peran parpol di legislatif hanya sekadar tukang stempel dan setuju saja setiap pengajuan anggaran dan kebijakan baru dikeluarkan.
PKS menyarankan pada Gerindra agar tetap pada komitmen awal, yaitu tetap konsisten sebagai partai oposisi, kendati Demokrat dan PAN sudah bermanuver sejak awal.
Sampai di sini, kita bisa melihat wajah asli seorang Prabowo, alih-alih memperjuangkan yang sudah kadung dikampanyekan pada masa pemilu, ternyata ia larut dengan jabatan dan kekuasaan.
Bila Gerindra dan PKS berada di luar pemerintahan, setidaknya posisi legislatif bakal disegani, namun bila hanya menyisahkan PKS sebagai kelompok oposisi maka legislatif tak lebih dari macan ompong: punya kewenangan besar tapi tersandera oleh kepentingan di eksekutif.
Penulis: Ruslan