Lontar.id – Masih ingat dengan perseteruan sengit antara Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo-Hatta dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-JK pada pemilu 2014?
Meski PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan memegang kendali eksekutif, tak lantas PDIP berkuasa di parlemen. Buktinya koalisi KMP memborong semua unsur pimpinan dan mendepak PDIP beserta dengan partai koalisi melalui UU MD3.
‘Dosa’ masa lalu tersebut masih sempat disinggung oleh Pimpinan PDIP di DPR RI, Puan Maharani. Puan yang kini menjabat sebagai Ketua DPR RI sempat menyinggung dominasi KMP 5 tahun lalu kala ngotot memonopoli unsur pimpinan.
Misal di unsur Pimpinan DPR diduduki Setya Novanto (Golkar), Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra) Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN).
Sementara di MPR Zulkifli Hasan (PAN), Evert Ernest Mangindaan (Demokrat), Mahyudin (Golkar), Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Oesman Sapta Odang (DPD).
Kekuatan KMP cukup besar dan membuat KIH cukup khawatir bila sewaktu-waktu oposisi bermanuver, memanfaatkan posisi untuk menjungkal Jokowi-JK melalui proses pemakzulan di parlemen.
Pada akhirnya PDIP harus berpuasa selama satu periode di parlemen tanpa punya jabatan strategis, lantaran dikuasai KMP. Namun di tengah perjalanan, koalisi KMP mulai bubar satu persatu dan bergabung dengan koalisi pemerintahan.
Pemilu 2019 yang pada akhirnya memenangkan kembali Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, secara otomatis menguasai parlemen dengan jumlah kursi lebih besar. Ditambah dengan merapatnya sejumlah parpol oposisi melalui tawaran kursi menteri.
Gerindra sebagai kepala oposisi mulai ketar-ketir mengimbangi koalisi pemerintahan. Pada proses penentuan Ketua MPR yang saling diperebutkan oleh partai politik, Gerindra turut ikut dalam kompetisi meski tahu secara jumlah kursi tak akan mungkin melawan.
Namun pada kenyataannya, detik-detik terakhir sidang Paripurna MPR, Gerindra masih getol mengejar bahkan membangun komunikasi politik dengan Golkar dan Ketua Umum PDIP Megawati.
Upaya Gerindra tidak semata-mata mulus dan mendapatkan restu, bahkan partai oposisi yang jelas-jelas solid berada di kubu Prabowo serentak mendukung Bambang Soesatyo (Golkar) sebagai Ketua MPR.
Gerindra berkilah ingin duduk di kursi Ketua MPR, agar proses pemerintahan berlangsung dengan baik melalui mekanisme check and balance. Namun alasan itu tak menyurutkan niat koalisi pemerintah memberikan jatah ke Gerindra.
Melihat dalam proses perebutan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), di mana Gerindra kesulitan menentukan posisi komisi dan badan strategis–lantaran ada dendam masa lalu yang belum selesai. Dendam politik itu mengakar kuat di PDIP yang seharusnya mendudukkan kadernya sebagai Ketua DPR periode 2014-2019 lalu.
Hampir tak ada ruang bagi Gerindra di parlemen kecuali mendapatkan posisi wakil ketua di MPR dan dua komisi berdasarkan hitungan proporsional. Sedangkan pimpinan fraksi masing-masing tersebar ke semua parpol.
Istilah ‘balas dendam’ saya kira sangat tepat bila melihat komposisi di parlemen yang dikuasai pro pemerintah. PDIP sepertinya tak ingin kecolongan seperti 2014 lalu, tak mendapatkan posisi apa-apa. Momentum saat ini seakan menjadi celah balas dendam dengan manuver Gerindra yang pernah mengabaikan mereka.
Bila melihat lebih jauh ke depan, plus minus PDIP memberikan porsi kursi ke Gerindra, seperti menyimpan duri dalam daging. Bila Gerindra menguasai MPR, bukan tidak mungkin akan ada upaya dan manuver politik di luar kendali.
Mengingat fungsi MPR sangat sentral, yaitu bisa mengamandemen UU 1945, melantik presiden hingga dapat memakzulkan presiden dari jabatannya. Meski harus melewati proses panjang dan sulit di sidang Paripurna, MK hingga kembali ke MPR.
Namun dalam hitungan politik sepertinya tak ada yang tidak mungkin, semuanya bisa dilakukan apabila Gerindra mampu menarik dukungan parpol koalisi Jokowi-Ma’ruf.
Sementara kekurangan lainnya apabila partai oposisi bergabung, maka tak ada lagi sistem pengawasan yang ketat terhadap pemerintah. Kebijakan pemerintah akan mudah diloloskan, tanpa melihat apakah kebijakan tersebut pro terhadap masyarakat atau menguntungkan korporasi.
Model seperti ini menciptakan pemerintahan yang sangat kuat, efektif dan program kerjanya tak akan terhambat. Hanya saja cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bakal tumbuh subur menjangkiti pemerintahan, karena tidak ada lagi benteng pengawasan terakhir.
Editor: Syariat