Lontar.id – Disparitas pembangunan yang tidak merata ke seluruh wilayah Indonesia, ibarat seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak dan merembes ke sejumlah wilayah lainnya.
Hal yang sama dialami oleh masyarakat Papua dewasa ini. Negeri yang besar dengan kompleksitas sumber daya alam yang amat besar, namun mengalami nasib berkebalikan.
Kita tak bisa menyangkal, salah satu penyumbang devisa negara terbesar Indonesia, berasal dari tanah cendrawasih. Kandungan isi alamnya melimpah ruah, di sana berdiri perusahaan cangkang raksasa seperti Freeport yang mengeruk emas, British Petroleum dengan eksploitasi minyak dan sederet perusahaan asing lainnya bercokol di tanah Papua.
Jika melihat kekayaan Papua dan sumbangan terhadap devisa negara, sudah selayaknya masyarakat Papua menikmati hasilnya. Negara punya keinginan serius membangun Papua seperti daerah lainnya, terutama seperti di wilayah Pulau Jawa.
Memang, dana otonomi khusus (Otsus) dari pemerintah cukup besar dianggarkan, tetapi sejauh ini Papua masih seperti yang dulu, dianggap terbelakang, primitif dan segudang stereotipe lainnya. Apa akibat dari itu semua? Timbul percikan konflik rasial, Papua masih menganggap dirinya sebagai anak tiri sementara Pulau Jawa adalah anak emas. Buktinya bisa disaksikan sendiri, jarak disparitas antara kedua pulau ini.
Apabila hal demikian masih dibiarkan, maka tak heran konflik di Papua tak akan pernah berhenti, selama masih ada sebutan anak tiri dan anak emas.
Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap dalam diskusi ‘Mimpi Tokoh Muda untuk Indonesia 2045’ di Hotel Aryaduta mengatakan, untuk mengakhiri semua persoalan di Papua memang butuh langkah serius dari pemerintah.
Presiden Jokowi memang tengah gencar membangun infrastruktur Papua melalui jalan tol, dana Otsus dan bantuan lainnya. Tetapi tetap saja pembangunan tersebut masih salah kaprah, karena bukan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan Papua, melainkan pembangunan Sumber Daya Manusia untuk meningkatkan (SDM).
Untuk mengelolah daerah yang baik dan benar, diperlukan SDM yang mumpuni serta profesional. Bila SDM sudah terbangun dengan baik, barulah dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur.
“SDM menjadi barometer pembangunan Papua. Saya pikir dana Otsus, konflik, insiden di Papua, penambahan anggaran yang besar, sampai kapanpun itu bukan solusi utama. Tapi bagaimana mempersiapkan orang Papua mampu bersaing dengan daerah lainnya,” kata Herry Ario Naap di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Akibat dari SDM yang sangat kurang, maka timbul lah konflik yang berkepanjangan. Salah satu solusi yang agar dapat keluar dari sengkarut persoalan ini, tentu dengan meningkatkan SDM.
Pemerintah harus punya sikap yang jelas dan komitmen agar mengirimkan sejumlah guru-guru ke pelosok Papua. Sekolah di Papua, mulai dari tingkat PAUD hingga sekolah menengah atas, masih kekurangan tenaga pendidik.
Rasio murid dengan tenaga guru belum terpenuhi, bahkan dalam satu sekolah dasar saja, seorang guru bisa mengajar sampai enam kelas. Hal seperti itu bukan saja terjadi pada satu sekolah, tetapi hampir merata disejumlah sekolah lainnya.
“Yang terpenting, Jakarta harus berani membuat kebijakan untuk mengirim guru sebanyak-banyaknya. Sehingga SDM Papua siap dan mapan, meraka mau damai lagi enggak ada pikiran yang lain itu. Tetapi kalau tidak maka konflik masih tetap ada,” sambungnya.
Khusus kebijakan Bupati Biak Numfor untuk memajukan sektor pendidikan, ia mendorong agar pemerintah desa menganggarkan anggaran dana desa ke sekolah hingga 100 juta. Dana tersebut bsia dipergunakan untuk keperluan perlengkapan hingga gaji guru.
“Saya memberikan kebijakan setiap desa wajib mengalokasikan dana sampai 100 juta untuk digeser ke dana pendidikan, kalau SDM nya tidak siap, maka Papua tetap menjadi Papua yang menjadi persoalan,” urainya.
Selain dana desa, Bupati Biak Numfor juga mengalokasikan anggaran dana Otsus untuk biaya guru kontrak. Meski demikian di Papua masih tetap saja kekurangan tenaga pendidik. Melalui kesempatan diskusi tersebut ia meminta kepada Presiden Jokowi agar mengirimkan guru ke Papua.
“Titipan saya kepada Pak Jokowi dan Menpan RB, kouta yang yang harus diberikan kepada guru jadi prioritas. Karena kami kekurangan guru hampir 900-san,” tutupnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah