Lontar.id– Salah satu revolusi besar yang dilakukan umat manusia dalam ilmu politik adalah mengubah tatanan kekuasaan: yang awalnya dipimpin seorang Raja dan dianggap ‘titisan langit’ yang bersifat absolut (monarki), ke bentuk kekuasaan yang diperintah secara kolektif yang lahir ‘dari bumi’ (demokrasi).
Demokrasi membawa gagasan rasional. Sebagai jalan untuk memahami bahwa kekuasan tidaklah transendental melainkan sosiologis. Bahwa raja bukanlah perpanjangan tangan Tuhan, melainkan manusia biasa yang ditugaskan manusia lainnya, untuk mengatur dan mengurus kehidupan di antara mereka.
Dengan rasionalitas itu, sistem ini menuntut kepada masyarakatnya agar memiliki kewarasan mental dan kelurusan berpikir. Karena hanya dengan cara itu hakikat berwarganegara, bernegara dan kekuasaan dapat diselenggarakan dengan benar.
Kenapa Raja dan kekuasaannya dilahirkan di bumi, diletakkan di bumi, dan dijalankan di bumi? Bukan datang dari langit dan untuk langit!? Agar supaya kita dapat sama-sama mengawasi, mengontrol, mengkritik, dan mengevaluasinya, bahkan memakinya jika ia kepala batu. Kalau ia datang dari langit, masyarakat takut untuk memberi interupsi. Sebaliknya mereka justru akan datang untuk bersembah, terus memberi puji dan julur menjilat. Sifat menyembah dan jilat-jilat penguasa, apa lagi ia penguasa yang brengsek. Sebuah mental feodal.
Mental ini terus tumbuh di Bima, bahkan dibentuk kepegawaian untuk memeliharanya. Mereka datang dari kelompok keturunan raja, kelompok “istana”, kelompok penguasa, dari kalangan mahasiswa, aktivis, politisi, akademisi.
Mental yang masih menganggap penguasa adalah ‘titisan’. Dampaknya, pemerintah dianggap sebagai “sang pembawa” yang menilai kekuasaan penguasa dapat ‘menjanjikan kehidupan yang baik’. Oleh sebab itu, harus dingangguk-angguk, dan tidak boleh dipertanyakan.
Mental seperti ini lahir dari jiwa yang rendah, datang dari kepala yang kerdil, dan keluar dari mulut yang munafik. Sebenarnya mereka sadar, apa yang mereka lakukan itu tidak benar, tapi karena ‘takut tidak makan’ membuat mereka menjadi tak berdaya.
Sekitar dua abad lalu Montesquieu membagi kewenangan kekuasaan menjadi tiga, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang disebutnya sebagai Triaspolitika agar kekuasaan tidak dimonopoli. Dan kita sedang berada dalam sistem ini. Sistem yang mengharuskan kita menggeleng pada kekuasaan bukan mengangguk, karena kekuasaan bukan untuk dijilat tapi untuk diberi kritik.
Jika kekuasaan dimonopoli, penguasa akan cenderung buas kata Hobbes. Triaspolitika memerintahkan kita memberi ‘teror’ dengan pikiran dan argumentasi kepada penguasa yang nyenyak tidur, agar ia tidak larut. Namun sangat disayangkan, saat ini di Bima, para aktivis, intelektual, akademisi, pemuda, dan mahasiswa ramai-ramai datang menghadap ‘raja’ dengan posisi kepala lebih redah dari pantat, dan pikirannya lebih panjang dari lidahnya. Sehingga bukan perbaikan yang didapat melainkan buaian.
Dengan itu, berhetilah memuji penguasa, hentikan jilat-menjilat itu, karena itu racun yang memabukkan, yang menyebabkan penguasa tidak memahami apa yang sedang terjadi. Dan ini sungguh sangat berbahaya bagi daerah, masyarakat dan Bima.
Untuk itu kita perlu memberi gagasan kritis. Datanglah menghadap penguasa, raja termasuk Bupati dengan kepala yang menjulang dan gagasan yang menjalar. Kenapa harus takut lapar!? Lihatlah jauh ke depan, jabatan Bupati itu hanya lima tahun, habis itu selesai. Tidak abadi. Tapi kehidupan ini harus tetap dilanjutkan, generasi datang silih berganti, dan Bima tetap harus berdiri Kekal dan abadi.
Penulis: Faris Thalib (Sekjen Angkatan Muda Bima/AMBI)