Lontar.id – Politisi Fraksi Partai Demokrat (F-Demokrat) Anwar Hafid menyoroti kenaikan premi BPJS yang mencapai 100 persen. Padahal menurut dia, BPJS sengaja dibentuk oleh negara untuk menjamin dan meringankan beban biaya kesehatan masyarakat.
Anwar Hafid tak setuju bila semua golongan pengguna kartu BPJS dinaikkan, karena secara pendapatan perkapita jelas berbeda. Misalnya, pengguna kelas 3 kebanyakan berasal dari masyarakat miskin yang menggantungkan jaminan kesehatannya kepada pemerintah dan layanna BPJS.
Kondisi ini kontras dengan pengguna kelas pertama dan kedua, rerata mereka memiliki pekerjaan tetap serta berpenghasilan tinggi. Sehingga jika dinaikkan, tidak begitu berpengaruh. Lain halnya dengan kelas 3 yang relatif mayoritas dari masyarakat kurang mampu.
“Memang kalau kelas 1 dan 2 orangnya banyak yang mampu. Tapi mereka di kelas 3, hampir sebagian besar yang terpaksa harus ikut peserta BPJS, karena harus mendapatkan jaminan kesehatan,” kata Anwar Hawid saat Raker sekaligus RDP dengan Kementerian Kesehatan serta mitra kerja Komisi IX, Selasa (05/11/2019).
Menaikan premi BPJS khusus kelas 3 dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 menurutnya tidaklah tepat, meskipun pemerintah beralasan terjadi defisit. Jika membandingkan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik itu Polisi, TNI hingga anggota DPR, pemerintah memberikan jaminan kesehatan berupa asuransi.
Sementara masyarakat miskin justru harus mengeluarkan uang banyak, demi mendapatkan pelayanan kesehatan. Seharusnya kata Anwar Hafid, hal itu perlu dibalik, masyarakat miskinlah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Apabila terjadi defisit seperti alasan pemerintah, seharusnya diperbaiki mulai tahap awal seperti tata kelola yang benar serta manajemen keuangan. Sehingga BPJS sebagai perpanjangan tangan pemerintah tidak membebankan pada masyarakat dan memberikan subsidi kesehatan pada masyarakat miskin.
“PNS, DPR dan sebagainnya justru ditanggung kesehatannya oleh negara. Kenapa orang miskin tidak di tanggung oleh negara,” terangnya.
Sementara Politikus PDIP, Ribka Tjiptaning Proletariat, mempertanyakan minimal lima strategi politik apa yang akan digunakan oleh kementerian kesehatan selama lima tahun ke depan. Strategi tersebut menyangkut bidang kesehatan seperti pelayanan, ketersediaan obat-obatan, sarana dan prasarana.
Menurut Ribka, Kementerian Kesehatan harus mempunyai road map yang jelas untuk menangani persoalan serius yang dihadapi masyarakat. “Strategi politik kesehatan seperti apa yang akan digunakan oleh kementerian Kesehatan selama lima tahun ke depan untuk Indonesia,” ujarnya.
Ia mempertanyakan terkait premi BPJS yang dinaikkan 100 persen, apakah diikuti dengan perbaikan pelayanan kesehatan, ketersediaan obat-obatan. Pasalnya, masih terdapat sejumlah pasien yang mendapatkan perlakuan tidak sama di rumah sakit.
Pasien pengguna BPJS terkadang diabaikan, ia merujuk pada contoh kasus, seorang bayi yang ditahan di rumah sakit hanya karena biaya. Padahal ibu pasien tersebut menggunakan kartu BPJS yang dijamin oleh negara. Ribka tak merinci di mana lokasi kasus penahanan bayi oleh rumah sakit tersebut.
Ia juga meminta kepada Menteri Kesehatan agar membuka penggunaan alokasi anggaran untuk pembelian alat kesehatan mulai tahun 2005 hingga 2019. Karena menurutnya, masih banyak masalah terkait pembelian alat kesehatan yang harus diperbaiki. Bahkan ia menuding adanya oknum tertentu memanfaatkan penggunaan anggaran di Kementerian Kesehatan.
“Pembelian alat kesehatan dari tahun 2005 sampai 2015 harus dibuka supaya kita tahu, mungkin dari sisi regulasinya bagus tapi di juknisnya belum. Dan saya menduga ada pemain yang sudah lama di Kementerian Kesehatan,” akunya.
Sampai saat ini Raker sekaligus RDP dengan Kementerian Kesehatan beserta mitra Komisi IX masih berlangsung. Dan rencananya untuk pembahasan lebih mendalam terkait premi BPJS akan dilanjutkan besok.
Editor: Ais Al-Jum’ah