Lontar.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewacanakan hukuman mati bagi para pelaku korupsi. Hal itu karena ia banyak mendapatkan masukan dari masyarakat. Pernyataan Jokowi itu disampaikan saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Harkordia) di SMK 57 Jakarta pada (9/12/2018) lalu.
Dalam Undang-Undang sebenarnya telah diatur tentang hukuman mati Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hal itu terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 sebagaimana diubah ke dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Regulasi tersebut megatur tentang hukuman mati bagi pelaku korupsi bila dalam keadaan tertentu seperti, negara dalam keadaan bahaya, negara dalam keadaan krisis ekonomi, pengulangan tindak pidana korupsi dan moneter dan korupsi dana bencana alam.
Wacana tersebut seakan membuka kembali kotak pandora, mengingatkan kita terhadap besarnya dampak kejahatan luar biasa ini, dapat merugikan keuangan negara. Sebut saja beberapa kasus terbesar yang melibatkan para pejabat negara seperti, korupsi E-KTP, BLBI, Proyek Hambalang dan kasus lainnya.
Namun sampai saat ini, belum ada satupun pelaku kejahatan korupsi mendapatkan hukum mati, meski korupsi masuk dalam kategori kejahatan luar biasa.
Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menanggapi pernyataan Jokowi sangat membingungkan. Alasannya, dalam undang-undang tipikor sudah menjelaskan hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Apakah yang ingin didorong oleh Jokowi terkait dengan regulasi atau penerapannya, sebab di regulasi sudah tersedia di UU Tipikor.
“Ancaman hukuman mati itu sudah ada dalam undang-undang pidana korupsi. Nah, saya tidak paham apakah maksud presiden itu, yang mau di dorong regulasinya atau penerapannya. Pernyataan presiden itu membingungkan bagi saya, apakah yang dimaksud peraturannya atau pelaksanaannya,” kata Donal Fariz saat dihubungi Lontar.id, Kamis (12/12/2019).
Presiden Jokowi lanjutnya tidak boleh seoalah-olah menyerahkan keputusan kepada masyarakat. Hal itu karena yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan seseorang bersalah atau layak mendapat hukuman mati merupakan tugas dan wewenang hakim.
“Kalau pelaksanaanya bukan tergantung masyarakat, tapi tergantung putusan hakim. Jadi menurut saya peryataan itu membingungkankan dari kacamata hukum,” ujarnya.
Kalau soal hukuman mati wilayah hakim untuk memutus bukan wilayahnya presiden, itu makanya saya sampaikan pernyataan presiden itu membingungkan,” tambahnya.
Pengamat politik dari Indonesia Political Review Ujang Komarudin setuju bila pelaku kejahatan korupsi di hukum mati. Korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan merusak sendi kehidupan bangsa. Di sisi lain, proses pembangunan akan terhambat karena alokasi dana yang dianggarkan dipotong sana-sini.
“Kita sepakat bahkan masyarakat akan setuju jika koruptor dihukum mati,” kata Ujang Komarudin saat dihubungi terpisah.
Ia mencontohkan perilaku elit politik dan pejabat di negeri ini. Meski sudah pernah dipenjara karena korupsi, namun nafsu kekuasaan begitu besar untuk menduduki kembali jabatan sebagai kepala daerah. Banyak di antara mereka setelah keluar dari penjara mencalonkan diri kembali di kontestasi politik dan korupsi lagi.
Hal ini dikarenakan hukum di Indonesia tidak mampu memberikan efek jera sehingga koruptor bisa mencalonkan diri jadi kepala daerah. Sangat kontras dengan pemerintahan di China, mereka berani menembak mati koruptor dan mampu menekannya. Berbeda dengan cara yang diambil di Indonesia yang hanya memasukkan dalam penjara.
Menurut Ujang Komaruddin meningkatnya kasus korupsi di Indonesia karena belum adanya komitmen serius dari negara untuk menghentikannya.
“Selama ini tidak ada efek jera, bahkan ada bupati yang korupsi lalu keluar, lalu nyalon lagi dan korupsi lagi. Inikan catatan buruk dalam proses pembangunan bangsa,” terangnya.
Meski sepakat dengan hukuman mati, Ujang mengaku perlu ada regulasi yang jelas. Karena tidak semua pelaku korupsi harus mendapat hukuman mati, sebab harus disesuaikan dengan kadarnya.
Ujang mencontohkan korupsi dengan skala besar dan merugikan negara adalah kasus yang masuk kategori hukuman mati. Sementara korupsi dengan skala kecil yang merugikan keuangan negara mendapatkan hukuman lain di luar hukuman mati.
“Aturan hukum itu tidak pukul rata, undang-undang harus mengaturnnya. Hukuman itu tergantung kadar perbuatannya, enggak mugkin korupsi 500 ribu lalu di hukum mati itu enggak adil. Kalau korupsi miliar merugikan bangsa dan masyarakat ini yang perlu dipertimbangkan untuk di eksekusi,” tutupnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah