Lontar.id – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir setuju dilakukan perubahan atau amandemen terbatas UUD 1945. Menurut dia, amandemen terbatas itu hanya membahas Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Hal itu disampaikan Haedar Nashir usai menerima kunjungan dari Pimpinan MPR Bambang Soesatyo, Arsul Sani, Zulkifli Hasan dan Hidayat Nurwahid di Kantor PP Muhammadiyah.
Baca Juga: Idris Laena, Amandemen UUD 45 Membuka Kembali Kotak Pandora
Dalam pertemuan tertutup itu, Muhammadiyah diminta pendapatnya tentang kebangsaan dan amandemen UUD 45 yang sedang hangat dibahas. Menurut Haedar Nashir semangat kebangsaan yang terwujud dalam nilai demokrasi, perlu dipertahankan karena hal itu merupakan cita-cita nasional.
Untuk itu, ia berharap kepada pimpinan MPR agar tidak tergesa-gesa membahas amandemen UUD 45 karena menyangkut kelangsungan kehidupan masyarakat. Masyarakat harus diajak diskusi, utama tentang seperti apa GBHN kedepannya. Agar MPR mendapatkan pandangan baru, sehingga melahirkan keputusan yang mengedepankan kepentingan bersama.
“Karena itu Muhammadiyah bersetuju jika ada amandemen UUD 45, itu dilakukan terbatas untuk GBHN. Untuk sampai GBHN yang representatif, tentu perlu ada kajian yang mendalam dan tidak tergesa gesa,” kata Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Prinsip dasar dalam bernegara semuanya terkandung dalam batang undang-undang dasar 46. Sedangkan GBHN lanjutnya merupakan pedoman bagi pemerintah ihwal bernegara yang baik. Pemerintah yang terpilih akan melanjutkan program yang sudah direncanakan melalui GBHN, sehingga dapat terus berkelanjutan meskipun berganti presidennya.
“Presiden dan wakil presiden terpilih siapapun dan sampai kapanpun itu dia harus punya pedoman. Nah, GBHN itulah pedomannya, yang pedomani itulah kemudian lahir visi misi presiden terpilih. Nah, visi misi presiden terpilih itu tidak boleh lepas dari GBHN,” ujarnya.
Pembahasan GBHN mengandung konsekuensi penguatan terhadap lembaga MPR. Sebab sejauh ini MPR masih dianggap sekadar lembaga ad hoc. Haedar Nashir merasa perlu kedepannya perlu diseimbangkan kewenangan, sebab masih ada lembaga negara yang dibatasi tapi di sisi lain ada lembaga negara dengan kekuatan yang tidak terbatas.
“Dalan konteks ini maka juga ada konsekuensi penguatan MPR, yakni menetapkan GBHN. Sehingga MPR itu juga tidak menjadi lembaga ad hoc seperti sekarang ini,” terangnya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) sepakat dengan masukan dan usulan Muhammadiyah. Terkait pembahasan GBHN harus benar-benar hati-hati dan mempertimbangkan banyak hal salah satunya masukan dari masyarakat.
“Kami sepakat bahwa apa yang disampaikan Ketum PP Muhammadiyah bahwa pembahasan GBHN harus melalui kajian yang dalam. Dan hati-hati betul dan harus memenuhi kebutuhan mendasar rakyat kita yang menuju kepada kemajuan bangsa Indonesia,” terang Bamsoet.
Pembahasan mengenai amandemen terbatas tentang GBHN kata Bamsoet masih cukup panjang sampai 2024. Meskipun demikian Bamsoet beserta pimpinan MPR lainnya sudah mematok bahwa pada 2023 akan diputuskan, pembahasan amandemen terbatas dilanjutkan atau ditiadakan sama sekali.
“Saya meyakini bahwa diskursus UUD 45 ini penting bagi pendidikan politik rakyat Indonesia dan kita membuka pintu selebar lebarnya pemikiran-pemikiran yang membawa kemajuan bagi bangsa kita,” tutupnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah