Jakarta, Lontar.id – Kedatangan kolonial Jepang di Indonesia memang tak terhitung lama, hanya 3,5 tahun, sedangkan kolonial Belanda bercokol di bumi pertiwi selama 350 tahun. Belanda terusir digantikan Jepang. Penduduk Indonesia bersuka cita menyambut kedatangan Jepang dengan slogan saudara tua (Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) yang akan membebaskan dari jajahan Belanda.
Sebelum tiba di Indonesia, Jepang telah berhasil menghancurkan Pearl Harbour di Hawaii, Pangkalan Militer Angkatan Laut Amerika Serikat pada 1941.
Jepang tiba di daratan Bima pada tahun 1942, pada masa Sultan Muhammad Salahuddin, melalui pelabuhan Bima yang dipimpin oleh Kolonel Saito. Mereka datang dengan kapal-kapal militer dan jumlahnya cukup banyak, kemudian menyusul pasukan tambahan lewat jalur darat dari Sumbawa, Dompu hingga ke Bima. Tak lama setelah mendarat, tentara-tentara Jepang yang sedang berperang dengan sekutu ini, mendirikan barak-barak militer, sebagai pusat komando.
Suka cita masyarakat Bima setelah kedatangan Jepang di tanah ‘maja labo dahu’, tidak berlangsung lama. Sirna begitu saja setelah sepekan kemudian sikap Jepang terhadap penduduk mulai berubah, tak jarang mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap warga.
Puncaknya setelah Jepang memberlakukan kebijakan untuk mengambil anak perempuan desa untuk dijadikan sebagai budak seks, memenuhi hasrat para tentara yang berada di lini depan. Barak-barak militer dipenuhi oleh gadis-gadis dari luar Pulau Sumbawa yang diambil paksa, mereka dipekerjakan sebagai budak pemuas hawa nafsu.
Rumah bordil mulai bermunculan, ada yang dikelolah langsung oleh militer Jepang dan pihak swasta. Pimpinan Jepang percaya, memberikan hiburan perempuan kepada tentara mereka akan meningkatkan semangat perlawanan terhadap sekutu dan tampil garang di garis depan.
Baca Juga: Mengenal Sambori di Bima
Jika ditelusuri lebih jauh, pola Jepang merekrut para gadis penghibur sebagai jugun ianfu dilakukan melalui tiga cara, pertama mereka dengan secara sukarela membiarkan tubuhnya dinikmati oleh ratusan tentara, sebagai wujud pengabdian kepada negara. Biasanya mereka diambil dari negara Jepang, Cina, malayu, Singapura dan wilayah Eropa jajahan Jepang.
Kedua mereka diiming-imingi dengan pekerjaan di kantor perwakilan jepang di daerah-daerah, kemudian ketiga diambil secara paksa di rumah-tumah penduduk. Jepang menggunakan cara kedua dan ketiga untuk perempuan di Indonesia, dipaksa menjadi pelampias hawa nafsu.
Apa itu Nika Baronta?
Setelah Jepang mengambil secara paksa perempuan di luar Bima dan dibawa ke barak-barak militer. Jepang menyampaikan pesan, kepada Kesultanan Bima Muhammad Salahuddin, dia dijuluki Ma Ka Kidi Agama (yang menegakkan agama). Agar gadis-gadis cantik dipekerjakan di kedai-kedai kopi dan Kantor perwakilan Jepang. Akal bulus tersebut diketahui kesultanan setelah gelombang gadis Jawa dan Sumatera terus berdatangan dan mendiami barak militer sebagai jugun ianfu.
Sang Sultan langsung mengumpulkan para Jeneli (camat) dan Galara (Kepala desa), mereka mendiskusikan bersama atas keinginan Jepang mengambil anak gadis di desa. Setelah rembuk dilakukan, para Jeneli dan Galara tidak setuju dengan kebijakan Jepang dan memutuskan melakukan perlawanan.
Mereka melawan, tapi bukan dengan senjata, karena Jepang punya peralatan militer yang lengkap. Tetapi perlawanan melalui budaya. Tak berselang lama, sang Sultan langsung mengumumkan agar gadis-gadis menikah secara paksa dengan pemuda, meski mereka tak pernah pacaran atau bertemu sebelumnya.
Disebabkan eskalasi kekacauan di daerah dan tentara Jepang semakin bengis mengambil gadis desa sebagai pelacur. Nikah paksa inilah kemudian dikenal dengan ‘nika Baronta’ atau nikah berontak. Sultan berpandangan, hanya dengan cara inilah dapat menyelamatkan anak gadis mereka dari perampasan Jepang.
Alan Malingi, budayawan Bima menjelaskan. Setelah pesan dari Sultan melalui Jeneli dan Galara, agar anak-anak mereka segera dinikahkan. Praktis, hampir setiap hari jumlah orang menikah meningkat secara drastis. Laki-laki didatangkan dari desa-desa, kemudian mereka berdiri sejajar membentuk syaf. Lalu sang perempuan memilih satu diantara sekian lelaki yang berdiri, jika antara laki dan perempuan mau berjabat tangan satu sama lain, itu sebagai tanda, perempuan memilih sang lelaki.
Ditempat itu juga, mereka langsung dinikahkan oleh penghulu agama. Maharnya sederhana, apa saja yang ada, yang penting bisa memenuhi syarat sah nikah. Gelombang nika baronta hampir terjadi setiap hari, Alan Malingi mengisahkan satu penghulu dalam satu hari, dapat menikahkan mencapai 50 orang dan itu terjadi setiap hari.
“Mereka langsung dinikahkan, setelah memilih sang lelaki oleh juru agama (penghulu). Kadang yang perempuan cantik mendapatkan lelaki jelek, begitupun sebaliknya lelaki tampan mendapatkan perempuan yang jelek,” kata Alan Malingi saat dihubungi Lontar.id
Sedangkan bagi gadis yang belum mendapatkan pasangannya untuk menikah, mereka disuruh membuat bahan perkakas dari tanah liat kemudian melumuri badannya dengan tanah. Selain itu, mereka diwajibkan agar mengunyah buah pinang, dicampur daun sirih (nyirih), agar gigi-gigi mereka berwarna hitam dan pekat. Wajah mereka sengaja dicoret warna hitam dari arang, sehingga tak terlihat cantik lagi.
Tujuan dilakukannya, agar kolonial Jepang jijik dan tidak mengambil mereka, karena badanya sudah dilumuri dengan perkakas yang membuat mengalihkan pandangan Jepang. Strategi ini cukup ampuh dilakukan, para tentara Jepang ogah menculik mereka yang kemudian dijadikan sebagai budak seks.
Rekam sejarah jugun ianfu sangat terbatas, beberapa justru didapatkan dalam karya-karya sastra yang mengambil latar sejrah saat koloni Jepang menjadikan perempuan Indonesia sebagai budak seks.
Penulis: Ruslan