Lontar.id – Tiongkok mengklaim perairan Natuna sebagai bagian dari wilayah Laut China Selatan. Klaim itu merujuk pada peta sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang dikeluarkan Tiongkok pada tahun 1947 dan diperbaharui kembali pada 2009.
Nine dash line Tiongkok membentang 90 persen seluruh wilayah perairan laut China Selatan. Atas klaim itu perairan China Selatan mencakup sebagian perairan yang berbatasan dengan Negara Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam hingga ke Filipina.
Indonesia salah satu negara yang ngotot menolak klaim Tiongkok atas Perairan Natuna yang terletak di Provinsi Riau. Pemerintah Indonesia membantah adanya nine dash line yang diklaim Tiongkok dengan merujuk pada hasil Konvensi United Nations Convention on the Law of The Sea (Unclos) tahun 1982. Sebab wilayah yang kaya akan kandungan Minyak dan Gas (Migas) hingga kekayaan hasil lautnya itu, masuk dalam zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Meski mengalami ketegangan, kedua negara ini masih mengedepankan jalur diplomasi untuk proses penyelesaian masalah.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad mendorong agar sengketa perairan Natuna diselesaikan secara diplomasi. Sufmi merujuk pada hasil keputusan pengadilan arbitrase, memenangkan gugatan Malaysia hingga Filipina. Namun hasil keputusan pengadilan arbitrase tidak diakui oleh Tiongkok dan tetap mengklaim sebagai wilayah perairannya.
“Bisa saja nanti jalur diplomasi, ini melibatkan beberapa negara yang berkepentingan. Misalnya lembaga PBB, saya pikir kalau memang ada ketidaksesuaian. Karena kita lihat waktu dengan Malaysia, putusan arbitrase yang sifatnya mengikat saja tidak dipatuhi (Tiongkok) kan begitu,” kata Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks DPR RI, Rabu (8/01/2020).
Meski Kemenlu sudah melayangkan protes keras dengan memanggil Dubes Tiongkok atas kejadian tersebut. Pemerintah Indonesia tetap meningkatkan eskalasi pengawasan dengan mengirim kapal patroli TNI dan Bakamla guna mengawasi kapal Tiongkok yang masuk.
Selain itu Menkopolhukam sebelumnya, melakukan mobilisasi para nelayan untuk melaut di perairan Natuna. Sekira 200 kapal nelayan siap dikirim dari wilayah pantai utara (Pantura) menuju Natuna. Sementara Aliansi Nelayan Indonesia (Anni) rencananya akan mengerahkan sekitar 500 kapal untuk mencari ikan di Natuna Utara sekaligus membantu TNI.
Keinginan para nelayan melaut dan membantu TNI menjaga perairan Indonesia, masih mengalami kendala. Yaitu biaya operasional pengisian bahan bakar (BBM) kapal dengan kapasitas di atas 100 grooss ton (GT).
Untuk membiayai kapal jenis ini dalam perjalanan dua sampai tiga hari, para nelayan setidaknya akan mengeluarkan anggaran sendiri sebesar Rp500 juta. Sementara pemerintah hanya menyanggupi dukungan perizinan, fasilitas dan perlindungan nelayan yang melaut.
“Jadi kalai dibilang mengeluhkan (anggaran) ada, kemudian asosiasi-asosiasi yang kita apresiasi, bahwa mereka saya dengar siap dengan biaya sendiri untuk kemudian melakukan penangkapan disana. Soal pengerahan kapal ikan, saya pikir kalau perlu seluruh kapal tangkap yang memang sanggup untuk ke Natuna,” ujarnya.
Editor: Ais Al-Jum’ah