Lontar.id – Pemerintah RI tidak berencana untuk memulangkan teroris lintas batas atau foreign terrorist fighter (FTF) ke Indonesia. Tapi, untuk anak-anak di bawah 10 tahun, akan dipertimbangkan kasus demi kasus.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, menyampaikan bahwa jumlah FTF, per hari ini, 689 Warga Negara Indonesia (WNI) ada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain.
“Keputusan rapat tadi, pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta rakyat Indonesia,” ujar Menko Polhukam usai mengikuti Rapat Terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, Selasa (11/2/2020), seperti dikutip dari keterangan resmi Sektetariat Kabinet.
Kalau FTF ini pulang, lanjut Menko Polhukam itu bisa menjadi virus baru yang membuat rakyat yang 267 juta itu merasa tidak aman.
“Sehingga pemerintah, yang kedua ini, tidak ada rencana memulangkan teroris, tidak. Bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia,” tegas Menko Polhukam.
Meskipun begitu, menurut Menko Polhukam, Pemerintah juga akan menghimpun data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas orang-orang yang dianggap terlibat teror, bergabung dengan ISIS. Untuk anak-anak di bawah 10 tahun, menurut Menko Polhukam, akan dipertimbangkan, tapi case by case.
“Artinya ya lihat saja apakah anak itu di sana ada orang tuanya atau tidak, anak-anak yang yatim piatu yang orang tuanya sudah tidak ada,” tambahnya.
Jumlah anak-anak yang berada di bawah 10 tahun, menurut Menko Polhukam berdasar data dari CIA 689 orang, 228 ada identitas teridentifikasi sisanya 401 tidak teridentifikasi lengkap identitasnya.
“Kemudian ada dari ICRP ada 185 orang. Mungkin 185 orang itu sudah menjadi bagian dari yang 689 dari CIA. Kemudian juga kita punya data-data yang ambil sendiri dari situ. Ya sekitar itulah jumlahnya,” ungkapnya.
Menurut Menko Polhukam, hal terpenting adalah menjamin rasa aman kepada seluruh rakyat yang di sini sehingga tidak ada rencana pemerintah untuk memulangkan.
“Tetapi bersamaan dengan itu mencari data yang lebih valid tentang jumlah dan identitas orang-orang itu,” pungkas Menko Polhukam.