Lontar.id – Meski penyelenggara pemilu telah menyepakati penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, namun proses penanganan pelanggaran penyalahgunaan wewenang kepala daerah dan pejabat pemerintah untuk kepentingan pilkada, tetap ditegakkan.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menegaskan, proses penanganan pelanggaran penyalahgunaan wewenang kepala daerah dan pejabat pemerintah daerah untuk kepentingan pilkada yang diatur Pasal 71 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada bakal tetap ditegakkan. Alasannya, kata dia, hingga saat ini, aturan UU Pilkada 10/2016 masih berjalan dan belum ada peraturan penggantinya.
“Penerapan pasal 71 kalau mengacu pada tanggal hari ini, maka tanggal penetapan calon 8 Juli 2020, sebelum peraturan itu diubah, maka setiap pelanggaran Pasal 71 ayat 1 atau ayat 3 masih berlaku, karena belum ada tahapan yang mengatakan penetapan calon berubah dari 8 Juli 2020,” tegas Fritz dalam diskusi yang digelar oleh Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif melalui daring, Kamis (2/4/2020), seperti tertulis dalam rilis Bawaslu.
Baca Juga: Seluruh Tahapan Pengawasan Pilkada Ditunda, Termasuk Pelantikan Pengawas
Meskipun nantinya akan ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengatur, Perppu tersebut harus diturunkan terlebih dahulu melalui Peraturan KPU (PKPU).
“Perppu juga harus diturunkan kepada PKPU. Kami masih menunggu PKPU baru mengenai tanggal penetapan calon, selama tanggal penetapan calon belum berubah dan masih 8 Juli, apabila ada kepala daerah atau para pejabat yang melanggar Pasal 71 ini akan tetap diteruskan proses penangan pelanggarannya,” tegasnya.
Pasal 71 ayat (1) UU Pilkada 10/2016 berbunyi: pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Kemudian, ayat (2) berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Dalam kegiatan itu, Fritz juga membahas tentang mekanisme pengembalian anggaran Pilkada Serentak 2020 yang bersumber dari dana hibah Anggaran Pendapat Belanja Daerah (APBD).
Mekanisme pengembalian dana hibah tersebut masih menunggu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) baru.
Fritz menjelaskan, dasar pemberian anggaran dana hibah dari APBD setelah penandatangan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) diatur berdasarkan Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Karena itu, menurutnya, soal pengembalian anggaran juga harus menunggu terbitnya Permendagri baru.
“Kami sebagai penyelenggara pemilu harus menunggu sampai adanya Permendagri dan Perppu yang mengatur soal penganggaran tersebut,” katanya.
Anggota KPU RI, Pramono Ubaid, menyepakati hal itu. Dia meminta KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk tidak menyepakati terlebih dahulu pemotongan anggaran oleh kepala daerah.
Sebab, hingga kini alokasi anggaran masih menggunakan UU Pilkada Nomor 10 dan diatur secara detail dalam Permendagri Nomor 54/2019 tersebut.
“Teman-teman KPU tidak boleh menyepakati soal pemotongan anggaran sebelum adanya Perppu. Entah bagaimanapun bunyinya dan detailnya (nanti) ada di Permendagri,” jelasnya.
“Sebab, sampai saat ini peraturan hukumnya masih UU yang ada sekarang dan Permendagri Nomor 54 dan belum ada Permendagri baru yang mengatur soal anggaran,” tambahnya.