Lontar.id – Jumlah pelanggaran Pilkada Serentak 2020 tetap tinggi meski kondisi pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Salah satunya, dugaan pelanggaran politisasi bantuan sosial (bansos).
Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan hal itu saat diskusi daring Menakar Asas Jurdil Pelaksanaan Pilkada di Masa Pandemik Covid-19 Hambatan dan Tantangan, Kamis, 25 Juni 2020.
Dia mengusulkan Kementerian Dalam Negeri tegas menerapkan sanksi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
“Walaupun pandemik covid-19 tetapi tidak menurunkan juga jumlah pelanggaran. Walaupun ada beberapa waktu jumlah pelanggaran itu menurun sekali, tetapi ada beberapa yang sudah mulai naik,” jelasnya, seperti tertulia dalam rilis.
Bagja menyebutkan beberapa catatan dugaan pelanggaran hingga 11 Mei 2020 yaitu terdapat 552 temuan, 108 laporan, dan 132 bukan pelanggaran.
” (Jenis) pelanggaran administrasi ada 157, kode etik ada 24, pelanggaran pidana ada dua, dan 348 pelanggaran hukum lainnya seperti pelanggaran netralitas ASN,” ujarnya.
Pria kelahiran Medan, 10 Februari 1980 itu juga menyebutkan dugaan politisasi bansos oleh kepala daerah yang berpotensi kembali mencalonkan terjadi di 12 provinsi dan 23 kabupaten kota.
“Kami juga mencatat ada di dua belas provinsi dengan 23 kabupaten kota yang terdapat pembagian bansos dan diduga dipolitisasi dengan menempelkan gambar kepala daerah yang berpotensi menjadi petahana,” sebutnya.
Provinsi dan kabupaten kota tersebut yaitu Provinsi Bengkulu dan Kota Bengkulu, Indragiri (Riau), Pelalawan (Riau), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Jambi, Lampung Timur (Lampung), Pesawaran (Lampung), Way Kanan (Lampung), Lampung Selatan.
Selanjutnya, Kabupaten Pandeglang (Banten), Pangandaran (Jawa Barat), Cianjur (Jawa Barat), Sumenep (Jawa Timur), Jember (Jawa Timur), Klaten (Jawa Tengah), Semarang (Jawa Tengah), Purbalingga (Jawa Tengah), Gorontalo, dan Keerom (Papua).
Terhadap dugaan politisasi bansos tersebut, kata Bagja, Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan pelanggarannya. Pasalnya, saat itu belum ada produk hukum yang mengatur dan terkendala aturan yang menyebutkan persyaratan enam bulan sampai masa penetapan calon.
Bagja menyebutkan maka saat itu diusulkan untuk politisasi bansos diselesaikan dengan UU 23/2014. “(Usulnya terkait politisasi bansos) Meminta ketegasan Menteri Dalam Negeri untuk menerapkan ketentuan Pasal 76 UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014,” katanya.