Lontar.id – Laboratorium kesehatan Prodia meluncurkan pemeriksaan NEUROgenomics. Pemeriksaan NEUROgenomics merupakan pemeriksaan penunjang pengobatan prediktif, yang dapat diperiksa juga oleh keluarga pasien dengan riwayat gangguan saraf.
Penjelasan itu disampaikan oleh Product Manager Prodia, Trilis Yulianti, melalui keterangan tertulis, Jumat, 30 Juli 2021.
Trilis menjelaskan, kemajuan teknologi di bidang biomolekular yang dipicu oleh proyek genom pada manusia yang berimbas kepada semakin majunya perkembangan diagnostik di dunia. Sehingga arah dunia kedokteran tidak lagi kuratif tetapi lebih ke hulu, yaitu pengobatan prediktif (predictive medicine).
Hal ini, lanjut dia, tentunya perlu didukung oleh layanan diagnostik prediktif, yang memanfaatkan profil genom manusia untuk memprediksi berbagai penyakit.
Kini Prodia meluncurkan pemeriksaan NEUROgenomics. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, tingkat prevalensi dari penyakit saraf terutama stroke mencapai 15,4% dari total populasi di Indonesia.
Tingginya prevalensi penyakit saraf di Indonesia memacu Prodia menyediakan pemeriksaan kesehatan yang mampu memprediksi risiko gangguan saraf berdasarkan profil genetik seseorang atau disebut NEUROgenomics.
“NEUROgenomics merupakan pemeriksaan genomik yang digunakan untuk mengidentifikasi kerentanan genetik seseorang terhadap penyakit yang berkaitan dengan gangguan saraf,” jelasnya.
Beberapa gangguan syaraf yang dimaksud di antaranya penyakit Alzheimer, Sklerosis Lateral Amiotrofik, Gangguan Bipolar, Epilepsi, Aneurisma intrakranial, Migrain, Sklerosis Ganda, Parkinson, Skizofrenia, dan Stroke. Pemeriksaan ini menganalisis lebih dari 109 varian dan 85 gen.
“Inisiatif Prodia dalam meluncurkan pemeriksaan NEUROgenomics sejalan dengan komitmen kami dalam mendukung pengobatan generasi baru (next generation medicine) yang bersifat personal, prediktif, preventif dan partisipatori (4P),” urainya.
NEUROgenomics, kata dia, menghitung risiko varian-varian gen yang dipersonalisasi (personalised) sehingga masing-masing individu mengetahui risikonya dan dapat menentukan upaya pencegahan penyakit saraf secara personal.
“Kami berharap pemeriksaan ini dapat menjadi semacam pengingat bagi individu agar lebih termotivasi untuk melakukan upaya pencegahan munculnya penyakit saraf di kemudian hari,” lanjut Trilis.
Berbagai penelitian hingga saat ini menunjukkan bahwa munculnya penyakit dipengaruhi oleh adanya interaksi antara genetik, gaya hidup serta kondisi medis yang lain.
Artinya apabila secara genetik seseorang memiliki kerentanan terhadap gangguan saraf atau penyakit tertentu namun pola hidup dan makanan terjaga dengan baik, maka kemunculan penyakit dapat ditunda.
Begitupun sebaliknya meskipun seseorang memiliki risiko genetik saraf yang rendah namun memiliki pola makan yang berisiko tinggi terhadap gangguan metabolisme tubuh maka dapat berujung pada terjadinya gangguan saraf.