Lontar.id – Pergantian musim, masyarakat diminta mewaspadai penyakit demam berdarah. Pasalnya, hingga triwulan III (Januari-September) 2021, jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jateng mencapai 2.170 kasus, dengan kematian mencapai 56 orang.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Dinas Kesehatan Jateng Irma Makiah mengatakan, telah melakukan langkah strategis. Hal itu dengan menyelenggarakan koordinasi dengan Dinas Kesehatan di 35 kabupaten/ kota.
Koordinasi itu dilakukan untuk memantapkan strategi pengendalian penyakit utamanya penyakit tular vektor dan zoonosis (penyakit yang dibawa oleh hewan). Penyakit ini termasuk yang rentan terjadi saat pancaroba.
Ia menyebut, kewaspadaan itu penting walaupun hampir dua tahun terakhir angka kasus penyakit itu turun.
“Kesiapsiagaan dari logistik baik dari provinsi maupun dari kabupaten atau kota. Kemudian pemberdayaan masyarakat untuk ikut menanggulangi vektor nyamuk atau tikus. Lalu, untuk kader juru pemantau jentik (Jumantik) termasuk di tingkat sekolah, karena PTM sudah mulai berjalan. Itu perlu koordinasi lintas sektor,” ucapnya, Senin (22/11/2021), melaui keterangan tertulis Pemprov Jawa Tengah.
Ditambahkan, menurut data dari Buku Saku Dinkes Provinsi Jateng, hingga September 2021, kasus DBD di Jateng relatif menurun dibanding 2020. Tercatat, ada 2.170 kasus di mana 56 di antaranya meninggal dunia.
Untuk mencegah penyakit itu, warga disarankan melakukan pola hidup sehat dan melakukan aktivitas 3 M (menguras, menutup tampungan air, dan mengubur barang yang berpotensi menampung air).
Jika menemukan gejala demam dengue, misalnya demam, mual, pusing, nyeri perut, Irma meminta warga segera memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat. Terkait adanya pihak yang menyelenggarakan fogging mandiri, sebaiknya tetap berkoordinasi melalui Puskesmas setempat.
“Karena, fogging itu ada aturannya. Hubungi Puskesmas, tanyakan apakah fogging itu sudah berizin,” sebutnya.
Tak hanya DBD, Irma juga meminta warga mewaspadai penyakit Leptospirosis saat intensitas hujan meningkat. Sebab, hingga September sudah ada 184 kasus dengan kematian mencapai 35 kasus. Di Jateng ada 21 kabupaten dan kota yang mencatatkan kasus ini.
Masa inkubasi penyakit itu cukup singkat. Jika terpapar, dalam kurun 7-10 hari penyakit bisa mengalami perburukan jika tidak diobati. Oleh karenanya, warga disarankan segera melapor ke Puskesmas jika ada kasus terjadi di lingkungan tinggal.
“Leptospirosis ini terjadi jika orang kontak dengan cairan, atau kotoran dari hewan pembawa bakteri Leptospira salah satunya tikus. Kalau terkena mukosa atau luka bisa tertular. Gejalanya itu demam, mata merah, ikterik (warna kuning pada kulit). Jika terlambat penanganan bisa terjadi gagal ginjal, dan menyebabkan kematian,” pungkas Irma.
Untuk pencegahannya, Irma menyebut dengan menjaga kebersihan lingkungan dan pengelolaan faktor risiko leptospirosis. Dikatakannya, Leptospirosis rentan menular melalui genangan air, banjir, daerah dengan populasi tikus tinggi, kebun dan pertanian.