Nenek moyang kita dahulu dikenal sebagai pelaut yang handal. Mereka mampu mengarungi lautan luas untuk mencapai negeri yang dituju, bahkan hingga menyeberangi lintas benua. Bahkan hingga menemukan tempat-tempat yang baru.
Demikian dengan kerajaan-kerajaan besar maupun kecil di Nusantara. Mereka memiliki armada laut yang kuat, membelah ombak besar demi mencapai tujuan. Kapal-kapal pun dibuat dengan beragam ukuran, ada kapal yang dibuat dengan keperluan perdagangan, juga sebagai kapal perang untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, hingga mengirim pasukan bantuan ke kerajaan yang memiliki hubungan diplomatis.
Kerajaan yang memililki armada laut, punya posisi strategis menghalau musuh yang datang menginvansi, merampok harta benda mereka, dengan demikian kerajaan terlindungi dari musuh-musuh yang datang.
Baca Juga: Moana dan Kisah Pelaut Perempuan yang Disembunyikan
Seperti halnya, Kerajaan Bima pada abad ke-XV sudah memiliki armada laut yang sangat kuat dan diperhitungkan. Mereka adalah pelaut pilihan dibekali dengan keterampilan berenang, menyelam dan strategi menghadapi rintangan ditengah laut. Laut seolah menjadi rumah kedua bagi mereka dan angin sebagai selimut dikala tidur.
Armada laut di Bima pertama kali dibentuk pada masa pemerintahan Manggampo Donggo sebagai raja dan Ruma Bicara Bilmana sebagai Perdana Menteri. Armada laut yang gagah dan pembemberani itu diberi nama Pabise.
Pada masa itu sang raja memerintahkan agar anaknya La Mbila dan La Ara membentuk sebuah armada laut yang kuat. Pembentukan armada laut tersebut, kemudian digunakan untuk melakukan invansi ke Wilayah Timur, yaitu di Kepulauan Solor dan Alor (Flores). Invansi laut pun berhasil, mereka memukul mundur pasukan yang menghadangnya, sehingga wilayah kerajaan semakin diperluas.
Pada masa-masa selanjutnya, Pabise sebagai unjuk tombak kekuatan laut yang cukup besar di wilayah Sumbawa. Disebabkan juga, letak geografis kerajaan yang berada di Pulau Sumbawa, sehingga mau tidak mau, jalur yang menghubungkan antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain dihubungkan oleh jalur laut.
Dalam sebuah artikel Pabise yang ditulis sejarawan Bima, Alan Malingi menyebutkan, setelah berhasil mengekspansi wilayah tersebut, kerajaan Bima kemudian menjadikannya sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya.
“Sejak saat itu wilayah timur nusantara menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bima seperti di Manggarai, Sumba hingga Alor dan Solor,” tulis Alan Malingi
Seiring berjalannya waktu, armada laut kerajaan Bima semakin besar hingga pada abad ke-XIX, menyusul adanya kerjasama antara kerajaan Bima dengan kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan dari Suku Bugis itu, turut membantu membenahi armada laut, sehingga mampu menguasai berbagai teknik pelayaran.
Namun saat Belanda mulai masuk di Kerajaan Bima dengan berbagai artileri perang dan kekuatan laut yang cukup besar, maka pengaruh kerajaan Bima di wilayah laut kian tersudutkan. Belanda semakin digdaya, membuat berbagai aturan untuk mempersempit kekuasaan kerajaan di wilayah laut. Sehingga pada 1857 Belanda memaksa pemerintah untuk menandatangani sebuah perjanjian yang menjadi cikal bakal, runtuhnya kekuatan laut kerajaan Bima.
Kontrak perjanjian tersebut menyebutkan bahwa kerajaan Bima harus mengakui kekuasaan Belanda kemudian menetapkan secara sepihak bea cukai, pajak pelayaran, hingga pajak penghasilan. Belanda, lewat kekuasaan dan pajak yang tinggi. Sehingga mendesak kerajaan agar tidak lagi menggunakan armada Pabise secara leluasa seperti dulu lagi.
Dalam tulisan Palupi Annisa Auliani Kejayaan Masa Lalu Maritim Bima Telah Runtuh di situs Nasional Geografi Indonesia menyebutkan, wilayah kerajaan Bima yang dikuasai di Manggarai melalui serangan armada laut, kemudian diserahkan kepada Belanda. Sebagai gantinya, Belanda menyerahkan wilayah kerajaan Tambora yang tak bertuan. Kerajaan Tambora dan Pekat hilang tertimbun abu vulkanik akibat letusan gunung Tambora pada 1815.
“Bima yang semula merupakan wilayah kerajaan bahari lintas pulau menjadi kerajaan daratan. Dengan mendesak Bima ke daratan, kapal-kapal Belanda leluasa menguasai jalur pelayaran,” tulisnya.
Sisa kejayaan armada laut Pabise di masa kerajaan Bima, masih diabadikan di halaman Museum Asi Mbojo (Istana Bima). Untuk mengenang kembali sisa-sisa sejarah kejayaan masa lampau, maka dibangunlah sebuah tiang kapal di samping Asi Mbojo, tepatnya sebelah kanan pintu masuk (Lare-lare).
Tiang tersebut dari kayu jati dan diambil dari tiang kapal armada Laut Pabise, tingginya sekitar 50 meter. Masyarakat mengenal tiang itu dengan nama tiang kasipahu, disebabkan pada saat pembuatan kapal Pabise diambil dari kayu jati bernama Kasipahu di Hutan Tololai Wera (Kecamatan Wera).
Monumen tiang kapal itu, seolah ingin menujukan kepada generasi saat ini, bahwa di masa kerajaan dulu mereka pernah berjaya. Mereka menyeberangi lautan hingga melakukan perdagangan dengan kerajaan lain. Monumen itu juga sebagai tuguh ingatan agar tetap abadi sepanjang masa meski ditelan zaman.
Saya merasa beruntung dengan adanya tiang kapal pabise ini, saya mulai mencari tahu tentang sejarahnya, hingga saya menemukan jejak perjalanan nenek moyang saya di lautan. Meski pengaruhnya kecil ketimbang kerajaan di Jawa hingga Sulawesi, tetapi kemampuan dan keterampilan mereka mengarungi lautan membuat saya belajar satu hal. Bahwa saya dilahirkan dari nenek moyang, pelaut yang handal.
Penulis: Ruslan