Orang-orang yang akrab dengan kultur kedaerahannya punya nilai-nilai humanis sendiri. Di Makassar, paling tidak ada lima konsep untuk diri yang patut dijaga dan dilestarikan.
Jakarta, Lontar.id – Saking pudarnya nilai-nilai kedaerahan, hal-hal yang berbau masa lampau perlahan ditinggalkan dan berganti jadi budaya baru.
Jika dalam budaya, cara melemahkannya ada pada modernisasi. Contoh di Tana Toa, Kajang, salah satu desa adat di Sulawesi Selatan.
Modernisasi yang dimaksud adalah pengaspalan jalan masuk desa adat; masuknya ponsel ke dalam desa adat, padahal sebelumnya aturan turun-temurun tersebut tidak bisa dilanggar.
Zaman mengubah kita menjadi lebih baik begitupun buruk. Baiknya, informasi saat ini mudah didapat. Hidup lebih sederhana dengan teknologi.
Baca juga: Patung Massa Gowa, Simbol Ngerinya Main Hakim Sendiri
Buruknya, nilai-nilai leluhur yang dipegang perlahan dikikis. Berganti dengan budaya kebebasan yang bablas. Seperti bebas bicara dan bertindak sesuka hati.
Untuk itu, ada lima hal yang berbentuk nilai dan konsep yang sangat besar pengaruhnya dalam perilaku dan pergaulan sosial etnis Makassar.
A. Tau “Orang”
Dalam budaya Makassar, tau jika dianggap kata sederhana, bisa diartikan sebagai ‘orang’. Namun, dalam unsur metaforiknya, ada pada nilai yang terpendam.
Antu nikanaya tau akrupa-rupai. Niak tau, tau tojeng. Niak tau poro tau Niak tau, akkanaji na tau.
Terjemahannya: Manusia itu bermacam-macam. Ada manusia, benar-benar manusia. Ada manusia sekadar manusia. Ada manusia dikatakan manusia karena ia dapat berbicara.
b. Siri’ “Harga Diri”
Siri’ adalah sebuah nilai yang sangat sulit didefinisikan secara spesifik. Dalam arti luas, ia hanya bisa dirasakan secara sempurna oleh penganutnya.
Di Makassar, ada metafora yang mengartikan siri sebagai pondasi kokoh orang Makassar. Siri Paccea rikatte, kontu ballak ia benteng,
ia patongko, ia todong jari rinring.
Terjemahannya: ‘Harga diri dan kesetiakawanan bagi kita, ibarat rumah ia adalah tiang, ia atap, ia juga jadi dinding’.
Baca juga: Soal Kampung Mualaf di Pinrang
c. Pacce “Iba”
Secara leksikal, pacce berarti pedih atau perih. Kita memilih membantu orang yang kesulitan karena kita iba atau pacce. Kalimat paccei parukka ‘iba’ hati melihatnya, adalah hal yang kerap diucapkan.
d. Pangngalik “perasaan hormat”
Pangngalik artinya menghormati atau segan pada orang lain. Bunyi kalimatnya bisa seperti: i katte tommo kupangngaliki, daeng. Artinya, cuma dirimu yang saya hormati.
Ada juga sipangngaliki atau ‘saling menghormati’. Ajaran ini merupakan salah satu dari wujud sipakatau ‘saling menganggap manusia’.
Di Makassar, ada bunyi pesan yang selalu didengungkan para tetus seperti, punna erokko nipangngaliki, pangngaliki rong taua. Artinya, jika ingin dihormati, hormatilah orang terlebih dahulu.
Baca juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
e. Pangngadakkang “adat istiadat”
Pangngadakkang berasal dari kata adak ‘adat’. Secara lebih spesifik, diuraikan peneliti budaya Makassar, Matthes dengan Gewoonten, menjadi ‘kebiasaan-kebiasaan’.
Adat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, yang merupakan tradisi dalam masyarakat yang bermaksud mengatur
tata tertib masyarakat.
Jika marah dan kurang sopan, orang Makassar biasanya berkata, tau tena pangadakkang anne. Artinya, orang tidak beradat ini.
Baca juga: Asal-Usul Orang-Orang Bugis di Batavia