Di daerah Sidrap, Sulawesi Selatan, dikenal komune penghayat yang menamai diri mereka Tolotang.
Jakarta, Lontar.id – Agama di Indonesia, selama Orde Baru, ditentukan hanya lima agama yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Belakangan, muncul Konghucu.
Saking menariknya Indonesia serta keragamannya, ada juga penganut aliran kepercayaan atau penghayat. Misal, seperti kepercayaan di Tanah Tua, Kajang, dan salah satunya di Sidrap, yakni Tolotang.
Apakah Tolotang itu? Tolotang terdiri atas dua kata yaitu kata To (bahasa Bugis) yang berarti orang, dan kata Lotang yang berasal dari bahasa Bugis Sidrap, yakni Lautang yang berarti Selatan.
Orang-orang Tolotang punya kepercayaan dan ritual sendiri di luar lima agama yang diakui di Indonesia. Mereka, saat merayakan hari besarnya, punya ciri khas yaitu memakai kopiah hitam dan sebagian besar tidak memakai alas kaki.
Meski menganut aliran kepercayaan, mereka memiliki agama yakni agama Hindu. Itulah sampai sekarang dikenal dengan nama hindu Tolotang.
Orang-orang Tolotang percaya akan adanya Tuhan. Mereka menyebutnya Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE.
Mereka percaya kalau PatotoE memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia atas, maupun dunia bawah. Dialah yang menciptakan alam raya dan seluruh isinya.
Mayoritas orang Tolotang mengais rezeki dari bertani dan beternak. Mereka sangat akrab dengan alam. Mereka pandai memanfaatkan rezeki yang dipercaya diberikan oleh PatotoE.
Untuk itu, jika mereka panen, dibuatlah ritus puja-puji pada PatotoE. Sekadar untuk berterima kasih, karena sudah diberikan hidup layak dan rezeki yang berlimpah dari alam.
Puja-puji itu disalurkan lewat etnomusikologi yakni Mappadendang. Untuk melaksanakan pertunjukan Mappadendang, penampilan pemain musik yang agresif yang utama. Alasannya, akan berefek pada keterlibatan masyarakat untuk memeriahkan kegiatan itu.
Dalam buku Goenawan Monoharto, Seni Tradisional Sulawesi Selatan, 2004, Mappadendang hadir sebagai sesuatu metamorphosis dari kristalisasi penciptaan yang dianggap memberi makna fungsional dan menawarkan sakralitas. Semua itu, sangat bergantung pada relasi sosial yang ada di sekitarnya.
Perlu diketahui, sebelum Mappadendang dimulai, orang-orang Tolotang awalnya berduyun-duyun dulu berziarah ke makam Ippabere. Ippabere itu dipercaya sebagai cilawagi para orang Tolotang.
Konon, sekisar abad ke‐16, kepercayaan yang dianut orang Tolotang awalnya berasal dari Kabupaten Wajo. yakni kata Towani itu nama
sebuah kampung atau desa di Wajo.
Yang membawanya adalah seorang perempuan bernama Ipabbere. Ia meninggal ratusan tahun lalu, dan dimakamkan di Perinyameng–sebuah daerah di sebelah barat Amparita Kabupaten Sidrap.
Makam Ipabbere inilah, yang akhirnya selalu dikunjungi sebelum memulai Mappadendang yang biasanya dilaksanakan pada bulan Januari setiap tahunnya. Orang Tolotang percaya, Ipabbere berpesan kalau sekali setahun kuburnya harus diziarahi.
Mappadendang
Tetua orang Tolotang yakni indo’na dan ambo’na menyajikan musik Mappadendang, dengan menggunakan pakaian adat la’bu dengan
ritual yang memiliki makna yang tersirat di dalamnya.
Mappadendang sendiri dibentuk dari suara musik perkusi yang khas dari alu saat menumbuk lesung pada saat pesta panen atau ketika terjadi gerhana.
Secara spesifik, musik berasal dari instrumen besar yang terbuat dari batang pohon yang dilubangi dan digantung beberapa inci di atas lubang di tanah yang berfungsi sebagai kotak pemantul suara.
Para muda‐mudi menggunakan tongkat kayu, sebagai pengganti alu bambu yang digunakan menumbuk padi. Mereka bergantian menumbuk lesung sepanjang siang dan malam mengikuti irama.
Gadis‐gadis menumbuk lesung dengan ketukan teratur, sementara para pemuda menumbuk kedua ujung lesung dengan irama lebih bersinkope (Pelras, Manusia Bugis).
Bukan cuma asal pukul saja. Melainkan, ada tinjauan filosofis yang ia percaya saat Mappadendang dilakukan yakni diselipkan konsep sulapa appa di sana.
Sulapa appa adalah sebuah paham tentang empat sisi bumi yang didiami. Alam kediaman manusia baik tanah sebagai tempat berpijak, maupun alam di atas tanah sebagai tempat bergerak, dipandang memiliki empat sisi.
Empat sisi itu, jika tidak dimanfaatkan dengan baik, akan membuat kekuatan yang bisa mencelakakan, begitupun sebaliknya jika dikelola dengan hati-hati yakni bisa memberi keselamatan manusia.
Makanya, dalam Mappadendang, ada persembahan sesajian terhadap dewa‐dewa yang dipercaya orang Tolotang, menjaga empat sisi itu agar mereka memperoleh keselamatan dan terhindar dari petaka.
Sesajian itu adalah nasi ketan atau sokko. Ada empat jenis sebagai simbolik yang diletakkan di bawah lesung patang rupa untuk menyimbolkan totalitas dunia:
• Sokko putih (air)
• Sokko merah (api)
• Sokko kuning (angin)
• Sokko hitam (tanah)
Selain itu, sulapa appa juga dihubungkan dengan aturan pola tingkah laku manusia dalam membina kehidupannya sehari‐hari, yakni syariat (sokko’ putih), tarikat (sokko’ merah), hakikat (sokko’ kuning), dan ma’rifat (sokko’ hitam).
Intinya, makna tersembunyi dalam musik mappadengdang secara teks merupakan struktur ritmis musik yang mengungkapkan emosi religius oleh ambo’na dan indo’na pada pukulan alu ke lesung.
Sedangkan secara konteksnya, tetabuhan ritmis musik Mappadendang merupakan simbol ekspresi ungkapan rasa senang akan rezeki yang telah dilimpahkan DewataE.