Ada-ada saja tingkah emak-emak ini. Katanya mau sosialisasikan program Prabowo-Sandi, eh… malah fitnah yang terucap.
Lontar.id -Tiga orang relawan yang mengatasnamakan Perempuan Pendukung Prabowo-Sandi (Pepes) terpaksa harus berurusan dengan pihak kepolisian. Musababnya, setelah video kampanye hitam relawan pendukung Prabowo-Sandi di Kerawang, Jawa Barat tersebar luas di laman media sosial.
Pada cuplikan video itu, relawan emak-emak mengunjungi warga dari rumah ke rumah (door to door). Bukannya melakukan sosialisasi terhadap program kandidat yang diusungnya, justru sebaliknya menyerang lawan dengan cara menyebar hoaks.
Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin, difitnah. Jika petahana itu terpilih kembali di periode kedua, maka akan banyak masalah yang bertentangan dengan norma agama.
Kata si emak-emak, Jokowi akan melarang umat muslim menyerukan azan di mesjid-mesjid. Katanya pula, tidak ada lagi perempuan yang menggunakan jilbab dan pernikahan sesama jenis akan dihalalkan.
“Jika Jokowi terpilih 2019, tidak akan ada lagi suara azan, tidak ada lagi yang pakai kerudung, perempuan dan perempuan boleh menikah, laki-laki dan laki-laki boleh menikah,” bunyi cuplikan video emak-emak.
Ah, entah apa yang merasuki pikiran emak-emak itu. Hingga mulut dan akal sehatnya tak bisa lagi sejalan. Apakah ini fanatisme buta ataukah memang mereka disetting untuk mengatakan demikian?
Kalau boleh menebak, beberapa kemungkinan yang menjadi motif kenapa emak-emak ini melakukan kampanye hitam pada Jokowi. Pertama kemungkinan daerah Karawang, merupakan basis pemilih Jokowi. Sehingga dengan metode yang mereka lakukan bisa merubah referensi politik masyarakat.
Cara ini meskipun dianggap masih konvensional untuk meraup suara pemilih, tapi masih berlaku pada kantong-kantong daerah tertentu dengan tingkat pendidikan masyarakat menengah ke bawah.
Model pemilih seperti ini, masih rentan terjadi dengan pengaruh isu yang dibuat-buat agar menakut-nakuti dengan berbagai masalah kebijakan yang akan diambil setelah lawannya terpilih.
Kemungkinan lain adalah, wilayah tersebut, sebagian besar masyarakat belum menentukan pilihan politiknya atau belum tahu siapa capres dan cawapres yang akan maju.
Melihat data Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Februari 2019, sebanyak 50 persen lebih, masyarakat belum mengetahui kapan pelaksanaan pemilu diselenggarakan. Melalui kampanye hitam memungkinkan para relawan mudah memberikan penjelasan, kenapa harus memilih kandidat yang dia usung dan menolak memilih lawan.
Kemungkinan ke-tiga menurut saya, masih belum meratanya sosialisasi kandidat di daerah ini, dengan waktu yang relatif singkat menjelang pemilu. Maka dengan menggunakan kampanye hitam, dikemas dengan propoganda kesamaan sentimen agama dan ras maka harapannya masyarakat bisa mengikuti calon yang ditawarkan pada mereka.
Kampanye hitam oleh para relawan emak-emak ini, jelas sangat merugikan pihak korban. Jokowi. Karena isu sejauh ini, Jokowi selalu dikonotasikan dengan kontra terhadap kelompok muslim. Meskipun Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin sebagai representasi dari kalangan ulama, demikian juga dengan deretan partai Islam ikut masuk di koalisi pendukung Jokowi.
Kriminalisasi terhadap ulama dan isu komunis (PKI) yang terus diwacanakan, meskipun Jokowi telah berulang kali membantah bahwa ia bukanlah kader partai terlarang. Karena saat partai PKI saat dibubarkan, Jokowi masih kecil dan belum mengetahui ada partai komunis di Indonesia.
Jokowi yang merasa geram dengan perilaku emak-emak, penyebar fitnah itu. Dan bahkan bukan cuma sekali, tapi berkali-kali dilakukan jelang momen politik. Jokowi sempat menyinggung agar ucapan para emak-emak itu tidak didengarkan karna cuma fitnah yang dibuat-buat untuk melemahkan elektabilitasnya di masa pemilu.
“Dengerin fitnah-fitnah enggak usah, dengar hoaks enggak usah. Ramainya ramai fitnah, ramai hoaks, kabar-kabar bohong banyak sekali, dan jangan dengarkan,” kata Jokowi.
Penulis: Ruslan