JAKARTA, LONTAR.id – Bagi masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan (Sulsel), sebutan ‘Tolok’ bukanlah hal yang asing di telinga. Istilah ini disematkan bagi seorang yang dikenal sebagai jagoan.
“Nai Tolokna (siapa jagoannya),” merupakan pertanyaan yang sering terlontar dari warga Makassar saat menonton sebuah film. Jika penasaran, mereka akan menanyakan langsung siapa jagoan atau tokoh utama dalam film itu.
Begitu pun dalam bermasyarakat, sebutan tolok sering kali disematkan bagi pemimpin sebuah kelompok yang dikenal bernyali. Lantas, dari mana istilah tolok berasal hingga melekat dalam sebutan jagoan masyarakat Bugis-Makassar?
.
Dalam buku berjudul ‘Bandit Sosial di Makassar, Jejak Perlawanan I Tolok Daeng Magassing, yang ditulis M. Nafsar Palallo, asal sebutan Tolok hingga melekat pada kosa kata Bugis-Makassar merujuk pada perjuangan I Tolok Daeng Magassing yang menentang penjajah Belanda.
I Tolok lahir di Daerah Limbung, Kabupaten Gowa. Namanya mulai melegenda karena cara perlawan berbeda yang ia tunjukkan. Ia memimpin sebuah kelompok untuk menjarah, merampok, dan menyerang Belanda.
Gerakan I Tolok muncul 9 tahun pasca ekspedisi militer Belanda pada tahun 1905. Ekspedisi itu menyebabkan peralihan kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal ke tangan Hindia Belanda.
Dalam resensi buku tentang sejarah perlawanan I Tolok Daeng Magassing, seperti dilansir di situs kontinumwordpress.com, sikap Belanda yang memanfaatkan Pemerintahannya dengan cara mengambilalih tanah dari tangan para bangsawan saat itu mulai melahirkan bibit perlawanan.
Kekuasaan kolonial juga menguras sektor perkebunan dan pertanian. Ini bisa dilihat dengan hadirnya ratusan pabrik gula mengubah pengolahan tanah dari sistem feodal ke arah yang kapitalistik.
Rakyat yang sebelumnya hanya melayani kaum bangsawan kini juga harus melayani kebutuhan deru mesin pabrik yang eksploitatif. Hal ini memicu konflik antara rakyat melawan kekuasaan Belanda. Salah satunya mengambil bentuk perbanditan, spontan, tidak terorganisir, tidak terarah, sporadis dan tidak memiliki rencana secara formal.
Munculnya berbagai kelompok-kelompok bandit tersebut disikapi pemerintah kolonial dengan mengerahkan kekuatan militer, yang didasari pada anggapan bahwa karakter masyarakat di daerah ini hanya dapat diperintah dan dikuasai dengan kekuatan senjata.
Strategi ini bukannya menyurutkan perlawanan malah menimbulkan resistensi yang semakin meningkat terhadap pemerintahan kolonial. Penghadangan dan perampokan uang dan harta kompeni dan orang-orang kaya marak terjadi, adapun hasil perampokan berupa uang atau yang bisa dijadikan uang dibagi-bagikan kepada rakyat kecil yang sangat membutuhkan.
Salah satu diantara gerakan perlawanan tersebut adalah gerakan yang dipimpin oleh I Tolok Dg Maggasing pada kurun waktu 1914-1917. Wilayah pengaruhnya meliputi seluruh Afdeeling Makassar, yang terdiri atas bekas kerajaan Gowa, Takalar, Jeneponto dan sebagian Maros.
Berawal dari perampokan skala kecil dengan kelompok yang beranggotakan enam sampai delapan orang, gerakan I Tolok berkembang menjadi gerakan masyarakat kelas bawah yang melibatkan ratusan orang yang bergerak secara acak dan tak terdeteksi.
Sekembali dari aksi perampokan, gerombolan I Tolok kembali ke tengah-tengah masyarakat dan berbaur menjadi rakyat biasa. Jikapun memilih bersembunyi, masyarakat sekitar akan melindungi mereka dengan tidak memberitahukan informasi apapun pada polisi kolonial yang mencarinya.
Puncak pergolakan sosial terjadi pada tahun 1916 yang mengarahkan penyerangan ke pos-pos pajak pemerintah dan rumah pejabat-pejabat pemerintah bumiputra yang bekerjasama dengan belanda.
Gerakan I Tolok berdampak pada terjadinya huru hara sosial yang terjadi memberi suntikan semangat bagi perlawanan rakyat dalam menentang kekuasaan hindia belanda. Berbagai tindakan miiliter untuk menumpas gerakan I Tolok mengeluarkan biaya yang tidak sedikit termasuk perlengkapan persenjataan dan pembuatan rel kereta api sepanjang 40 Km untuk menghindari hadangan I Tolok dan gerombolannya.
Penghadangan dan perampokan yang dilakukan oleh I Tolok menimbulkan keresahan bagi mereka yang menikmati hasil penjajahan termasuk pejabat dan orang-orang kaya. Pembiayaan pelaksanaan pemerintahan kolonial juga jadi terganggu akibat perampokan pada pos-pos pajak.
Akhir kisah I Tolok Daeng Maggasing sendiri berakhir tragis. Ia gugur dalam sebuah drama pengkhianatan. Mayatnya dipertontonkan kepada rakyat di tanah kelahirannya dan daerah sekitar untuk mematahkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Meski telah tiada, semangat dan kegigihannya menjadi personifikasi bagi perjuangan menentang penjajahan dan ketidakadilan sosial. Nama I Tolok kemudian mulai melegenda menjadi satu kata khusus bagi jagoan dalam bahasa Bugis-Makassar.