Jakarta, Lontar.id – Membaca langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di momentum Pilpres 2019 memang bukanlah perkara yang mudah. Butuh pisau analisis komprehensif dan kehati-hatian sebelum menyimpulkan. Apalagi Jusuf Kalla dikenal sebagai politisi sekaligus pengusaha ulung.
Sikap politik JK terbilang cukup sederhana namun sulit diprediksi. Seperti jargon yang populer diperkenalkannya pada pemilu 2009 lalu ‘lebih cepat lebih baik’ kala maju bersama Ketua Umum Hanura, Wiranto. Meski pada akhirnya, ia kalah melawan mantan tandemnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Boediono.
Jika membaca sikap politik JK melalui tagline tersebut, maka ia tak ingin berbelit-belit, cepat mengambil keputusan terkait berbagai hal menyangkut kebijakan dan mudah mengambil posisi pada kubu mana saja.
Hal itu tercermin ketika ia bergabung dengan kubu Megawati dan berpasangan dengan Joko Widodo, namun hubungannya dengan SBY sebagai mantan lawan politik tetap terjaga.
Sedangkan JK sebagai pengusaha, memberikan kesan jika ia memiliki relasi kuat dengan pedagang maupun politisi, baik kubu Joko Widodo maupun kubu Prabowo Subianto yang duel di Pilpres 2019. Selain itu, JK juga cepat dan spontan bertindak berbagai hal yang sedang dihadapi pemerintahannya.
Latar belakang dari gabungan seorang politisi dan pengusaha ini, membuat JK bisa berada di dua posisi yang berbeda. Kini di akhir masa jabatannya selesai dan usia yang tidak muda lagi, JK memang tak akan masuk dan terlibat secara langsung dalam arena politik. Kemungkinan ia akan menikmati masa tuanya bersama dengan keluarga dan cucu-cucunya.
Usai Pilpres 2019, JK tak akan seaktif lagi seperti sekarang sebagai wakil presiden. Namun, kekuatan peranan dan andil besarnya bermain di belakang layar sebagai aktor intelektual, mengontrol jalannya pemerintahan pastinya butuh pelanjut. JK bisa saja mengutus orang-orang kepercayaannya bergabung di kubu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, melingkar di sana demi menjaga status quo kelanjutan dari kesuksesannya di Pemerintahan.
Erwin Aksa dan Syafruddin
Pertanyaan ini mungkin agak sulit untuk dijawab, mengingat naluri politik JK yang fleksibel dan tidak mudah ditebak oleh orang. JK memang tidak mungkin berdiam diri, jika tidak menitipkan orang-orang kepercayaannya yang berada di lingkaran dalam kekuasaan. Jika pun tidak, maka hanya akan berhenti pada dirinya saja yang akan sulit memuali dari awal.
Saya menilai ada dua figur yang akan dititipkan JK, setidaknya orang yang paling dengan dirinya. Membaca figur-figur dekat JK untuk melanjutkan karier politik, maka pandangan kita akan mengarah setidaknya pada dua figur, yaitu Erwin Aksa dan Syafruddin. Syafruddin merupakan mantan Wakapolri dan kini menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB).
Sementara, Erwin Aksa masih satu rumpun keluarga dengan JK, dulu ia menjabat sebagai pengurus DPP Golkar lalu menyeberang di kubu Prabowo-Sandi. Langkah Erwin Aksa bergabung dengan BPN Prabowo-Sandi, disebut-sebut sebagai manuver politik untuk menjaga keseimbangan dukungan.
Sedangkan Syafruddin masih berada di lingkaran Jokowi-Ma’ruf. Jelang puncak perhelatan Pilpres 2019 ini, persaingan politik masing-masing kubu kerap menujukkan saling klaim keunggulam. Hal ini menjadi tanda tanya siapa yang bakal keluar sebagai pemenang, entah Jokowi-Ma’ruf atau Prabowo-Sandi.
Meski pada akhirnya nanti, hanya salah satunya yang menang di pemilu, paling tidak JK sudah menitipkan ‘orangnya’ di salah satu kubu. Erwin Aksa di Prabowo-Sandi, dan Syafruddin di Jokowi-Ma’ruf. Kemenangan Prabowo atau Jokowi, juga kemenangan JK.
Sekilas melihat dua figur yang dititipkannya, kita bisa membaca, bahwa seorang JK memang ahli dalam membuat strategi politik dan cepat melihat peluang yang ada.
Peluang tersebut baginya, tidak boleh disia-siakan begitu saja melainkan harus dimanfaatkan dengan baik. Sebab politik pada umumnya adalah seni melihat peluang dalam kemungkinan-kemungkinan yang ada, lalu merebutnya.
Setelah usai Pilpres, JK tinggal pulang kembali ke kampung dan hidup bersama keluarga, sedangkan orang titipannya melanjutkan dan merangkul semua sumber daya yang ada untuk menjaga keberlangsungan komunitas tetap hidup. Ya, agar tetap berada dalam lingkaran kekuasaan, tentu menitipkan orang kepercayaannya, sehingga ia dengan mudah mengontrol dan mengawasi dari jauh.
Penulis: Ruslan