Sangat jarang ada yang berani mempertanyakan dari mana biaya besar untuk melakukan survei. Apakah ada korelasi dengan peserta pemilu yang justru dapat merugikan kandidat lainnya? Ternyata UU Pemilu kita masih belum bisa menjawab itu
Jakarta, Lontar.id – Masyarakat pasti sudah terbiasa dengan pemaparan hasil dari berbagai lembaga survei politik. Setiap perhelatan Pilkada dan Pemilu, paparan hasil lembaga survei akan ramai menyebar dengan hasil yang berbeda juga.
Dari tahun ke tahun, lembaga survei politik cenderung hanya mempubilkasikan hasil survei, tapi tapi tak pernah benar-benar terbuka soal sumber pendanaan.
Sangat jarang ada yang berani mempertanyakan dari mana biaya besar untuk melakukan survei. Apakah ada korelasi dengan peserta pemilu yang justru dapat merugikan kandidat lainnya? Ternyata UU Pemilu kita masih belum bisa menjawab itu.
Pilpres 2019 bisa dibilang menjadi tradisi berkelanjutan dari berbagai lembaga survei politik. elektabilitas para Capres-Cawapres diumbar ke publik. Tapi kembali lagi, hanya hasil survei yang dijelaskan lengkap, sumber pendanaan tak dijelaskan selengkap hasil riset mereka ke publik.
Kejadian yang paling menyita perhatian adalah hasil survei litbang kompas. Di saat mayoritas lembaga survei nasional memaparkan hasil yang tak jauh berbeda soal keunggulan besar pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Paparkan hasil tanpa buka-bukaan pendanaan). Litbang Kompas justru muncul dengan hasil berbeda.
Beda Selisih dengan Mayoritas akan Dipertanyakan
Selisih 11,8 persen keunggulan Jokowi atas Prabowo ramai direspons. Angka 49,2 persen Jokowi sebagai petahana jelang pencoblosan jelas sebagai tanda bahaya. Sementara, pasangan 02 Prabowo-Sandiaga meraup elektabilitas tipis sebesar 37,4 persen.
Selisih 11,8 persen yang dirilis litbang Kompas melahirkan beberapa pertanyaan mencurigakan dari kubu petahana. Sebagian menganggap survei Litbang Kompas jauh berbeda dengan rilis mayoritas lembaga survei kredibel lainnya yang telah malang melintang di dunia riset politik.
Sumber pendanaan dan netralitas Litbang Kompas lalu dipertanyakan. Pempred Kompas, Ninuk Pambudy lalu angkat bicara. Ninuk tegas mengatakan bahwa survei mereka independen dan didanai sendiri oleh Kompas untuk mendukung jurnalisme di media mereka.
Ninuk mengatakan, mereka tak ingin dibandingkan dengan lembaga survei lainnya. Meski ada kesamaan soal jumlah responden dengan lembaga lain, tetapi mereka menolak disebut lembaga survei.
UU Tak Atur Transparansi Pendanaan Lembaga Survei
Founder LSI Denny JA, Denny Januar Ali juga menggunakan perbandingan hasil riset mayoritas lembaga survei seperti lembaganya, LSI Denny JA, dan lembaga lainnya seperti, SMRC, Indikator, dan Charta Politika. Mayoritas lembaga itu meriset hasil elektabilitas capres dengan angka tak jauh beda. Dengan Jokowi sebagai petahana sekitar 52-58 persen, sementara Prabowo sekitar 30-35 persen.
Kembali lagi, selain hasil, kelemahan survei, dan kredibilitas lembaga yang rajin disoal. Sumber pendanaan tak pernah dipaparkan seimbang. Hal inilah yang secara elegan digugat oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’yah.
Gugatan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’yah, Ammar Saifullah dan lima kawannya itu berangkat dari ketiadaan aturan yang mewajibkan lembaga survei untuk mempublikasikan secara terbuka penyandang dana mereka saat melakukan jajak pendapat.
Karena ketiadaan norma dalam UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Ammar Syaifullah cs lalu menggugat pasal 448 ayat 2 huruf c di Mahkamah Konstitusi (MK). Di mana dalam aturan tersebut hanya mengakomodasi kegiatan survei atau jajak pendapat sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu.
UU Pemilu hanya bicara independensi lembaga survei. Aturan di dalamnya hanya mewajibkan penyelenggaraan survei tidak berpihak yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu. Sementara, syarat transparansi pendanaan tidak diatur.
“Hak masyarakat untuk tahu adalah bagian dari hak asasi manusia,” katanya dalam sidang perbaikan permohonan uji materi UU Pemilu di Jakarta, Rabu (20/2/2019) lalu, seperti dilansir Kabar24.bisnis.com.
Gugatan Amar dan kawan-kawan jelas meminta agar seluruh
lembaga survei yang memaparkan hasil untuk menyebutkan secara terbuka penyandang dana mereka. Mereka berharap syarat tersebut dibubuhi pada pasal 448 ayat 2 huruf c. Sebab, hasil survei sangat erat kaitannya dengan prinsip-prinsip akademis.
Jadi, sudah jelaslah masyarakat pasti tak ingin terus-menerus dicekoki metodologi dan hasil survei saja, mereka juga berhak tahu darimana sumber dana lembaga survei saat hasil disampaikan ke mereka.