Jakarta, Lontar.id – Pernyataan Golongan Putih (Golput) adalah haram sempat dilontarkan Ketua Bidang Luar Negeri dan Kerja sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Junaidi, Senin (25/3/2019).
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh. Ia menyebut ada syarat pemimpin yang dianjurkan sesuai dengan ajaran Islam. Jika calon pemimpin tersebut memenuhi kriteria, maka haram hukumnya golput dan memilih pemimpin di luar kriteria yang telah dianjurkan.
Fatwa golput adalah haram juga telah dikeluarkan MUI saat Ijtima Ulama di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 2009 lalu. Fatwa MUI pada 2014 lalu juga mewajibkan memilih pemimpin sesuai kriteria yang telah dianjurkan .
Namun, pernyataan yang baru-baru ini kembali disampaikan oleh MUI mendadak melahirkan ragam persepsi. Ada yang berani menanggapi, dan pastinya ada yang takut kalau tidak memilih. Kalangan politisi sendiri menilainya sebagai sebuah kontroversi. Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon punya pandangan soal golput. Politisi Gerindra ini menganggap fatwa golput adalah haram bisa melahirkan kontroversi baru.
Menurutnya, masyarakat harus diimbau untuk menggunakan hak pilihnya. Fadli menganggap jangan sampai fatwa haram yang dikeluarkan kemudian tidak diikuti masyarakat.
“Saya yakin kita harus mengimbau, mengajak dan memberikan suatu kesadaran kepada masyarakat untuk menggunakan hak. Namanya aja hak, karena konstitusi kita tidak mengatakan kewajiban,” ujar Fadli.
Kontroversi yang muncul lalu membuat MUI meluruskan fatwa golput haram tersebut. Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan mengatakan, dalam fatwa MUI memilih pemimpin adalah wajib. Namun, yang tidak melaksanakan hak pilihnya sementara ada calon pemimpin yang memenuhi syarat maka itu adalah haram.
Dikatakannya, dalam fatwa MUI, kata golput tidak ditemukan. Yang ada adalah kewajiban memilih pemimpin berdasarkan beberapa syarat yang telah dianjurkan dalam fatwa MUI.
Amirsyah menyebut, ada persyaratan pemimpin yang tercantum dalam poin keempat fatwa MUI. Yakni, seseorang yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpecaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), serta mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam.
Jika ada calon pemimpin yang memenuhi syarat tersebut, maka merupakan suatu kewajiban dalam fatwa MUI untuk dipilih.
Perbedaan Antara Tidak Memilih dan Golput
Sementara, pada beberapa referensi, golput ternyata bukanlah sebuah sikap untuk tidak memilih. Golput dalam sejarahnya lahir dari gerakan protes mahasiswa dan pemuda dalam pelaksanaan Pemilu pertama di era orde baru, pada 1971 lalu.
Tokoh yang terkenal memimpin gerakan golput adalah Arief Budiman, tapi pencetus awal istilah golput adalah Imam Waluyo. Dalam sejarahnya, gerakan golput ternyata berbeda dengan tidak memilih.
Golput kala itu tetap hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tetapi tidak mencoblos parpol peserta pemilu. Istilah dalam golput karena gerakan tersebut memilih tapi hanya mencoblos bagian putih di kertas suara.
Sementara, sikap tidak memilih adalah jelas dengan absen ke TPS tanpa menyalurkan hak pilih. Beda golput dan tidak memilih inilah yang kerap kali dipersepsikan sama.
Jika tidak memilih adalah sebuah tindakan yang dilakukan dengan absen ke TPS. Maka sikap tidak memilih pemimpin sesuai kriteria yang dianjurkan dalam fatwa MUI bermakna haram.
Lalu bagaimana jika masyarakat menganggap belum ada calon pemimpin yang memenuhi kriteria seperti yang dianjurkan dalam Fatwa MUI, dan lebih memilih mencoblos kertas putih atau tidak memilih?. Bukankah tidak memilih pun adalah sebuah pilihan.