Lontar.id - Pilpres 2019 sudah di depan mata, tinggal sepekan lagi kita akan memilih calon presiden. Entah itu memilih Jokowi karena membangun infrastruktur, atau pilih Prabowo karena ada harapan baru, seperti yang diteriaki sejumlah massa pendukungnya.
Keputusan memilih capres jangan sampai membuat Anda bingung, sebab akan fatal jadinya. Maksud hati memilih Jokowi, eh tahunya di TPS coblos Prabowo, atau sebaliknya. Kan sayang, suara Anda tertukar, meski cuma satu suara, itu akan sangat berpengaruh pada hasilnya kelak.
Memang sih, harus diakui, Pilpres 2019 kali ini menurutku banyak menguras energi kita semua, karena ketegangan yang tidak perlu. Jika ingin bukti, coba Anda buka dinding media sosial, di sana sudah menumpuk informasi sampah merecoki pikiran kita. Sebaran hoaks mengarah ke fitnah pada paslon tertentu sudah tersaji.
Perang urat saraf sapaan tak menarik bagi kedua kubu makin membuat pilpres semakin tambah runyam. Padahal kedua capres saat ini, paling tidak, merupakan putra terbaik bangsa. Jadi siapapun yang terpilih nanti, mau tidak mau dia tetaplah presiden kita bersama.
Golput Massal
Pilpres adalah ajang bagi masyarakat memilih putra terbaik bangsa menjadi pemimpin di negeri ini. Lewat suara yang Anda salurkan di bilik suara, kita telah mempercayai pada kandidat tersebut akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Melahirkan solusi atas permasalahan, sekaligus merekatkan kembali semangat persatuan dan kesatuan kita, di bawah panji Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Tetapi ada kekhawatiran yang amat besar pada kontestasi politik kita saat ini, yaitu menguatnya gelombang Golongan Putih (Golput). Golput sebenarnya, sebutan pada kelompok orang yang tidak memberikan hak suaranya pada salah satu paslon.
Meski mereka tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), tapi mereka mencoblos kertas putih atau di luar dari kotak suara, yang ada gambar paslon di dalamnya.
Coblos kertas putih dianggap tidak sah (abstain), sebab mekanisme pemilihan yang sah, pemilih (voters) harus mencoblos di dalam kotak suara.
Ada banyak alasan, mengapa pemilih mencoblos kertas putih. Salah satunya, pemilih menganggap calon yang tampil tidak merepresentasikan sosok pemimpin yang mereka inginkan. Atau bisa jadi karena faktor kecewa, lantaran mereka punya jejak rekam masa lalu yang buruk. Namun karena adanya dukungan partai politik, sehingga kandidat tersebut lolos sebagai calon presiden.
Berbeda halnya pemilih yang Golput lantaran berada di luar daerah, mereka tidak pulang kampung karena faktor jarak yang jauh dan ongkos tiket mahal.
Mereka ini terdiri dari para mahasiswa, pekerja swasta atau mereka sedang mengurus keluarganya yang sedang sakit di ibu kota. Tipe Golput yang ini, bukan karena keinginannya tidak memberikan hak suara, tetapi mereka terpaksa berada di tanah rantau karena berbagai alasan tadi.
Jumlah mereka tidak sedikit. Jika mereka tidak diakomodir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka gelombang Golput massal akan terjadi di Indonesia.
Kejadian ini sama yang dialami oleh saya sendiri. Saya Golput bukan karena tidak mau berpartisipasi di pemilu, tapi berpikir dua kali harus membayar tiket pesawat yang mahal.
Saya punya keyakinan, ada banyak sekali orang-orang seperti saya. Mereka tidak punya biaya dan terpaksa harus Golput. Padahal tugas penyelenggara pemilu, memastikan agar pemilih mendapatkan hak suaranya.
Ibu Katrin (45) warga asal Manado, Sulawesi Utara yang tinggal di Jakarta. Ia sehari-hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga, menemani suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan.
Ia sudah lama tinggal di Jakarta, namun KTP-nya masih tercatat sebagai warga Manado. Dirinya tidak berniat Golput, sebab ia sadar pemilu adalah memilih pemimpin yang akan menahkodai bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Karena belum mendapatkan kepastian, ia bakal menyalurkan hak suaranya di TPS nanti dengan mendatangi Kantor KPU. Kedatangannya di sana, agar mendapatkan surat keterangan pindah memilih (formulir A5), sebagai peserta pemilu 2019 nanti.
Sebab dia tahu, hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) memperpanjang pengurusan pindah memilih hingga tanggal 10 April 2019. Sebelumnya, KPU telah menutup pengajuan pengurusan formulir A5, hingga 30 hari masa pemilihan berlangsung atau pada 17 Maret 2019.
Tetapi Katrin tidak tahu menahu, jika pemilih yang bisa mengurus surat pindah memilih hasil putusan MK tersebut, ada syaratnya. Seperti pindah alamat karena sakit, terjerat pidana, terkena musibah bencana alam dan dinas/tugas luar kota.
Sedangkan Katrin tidak termasuk dalam syarat itu. Menurutnya, dia tidak mungkin harus pulang kembali ke Manado hanya pergi menyoblos, sebab harga tiket pesawat ke kampung halamannya terbilang cukup mahal.
“Kalau saya harus ke Manado, kan butuh biaya lagi. Ini membuat niat kita Golput tinggi tanpa kita sadari. Kita sudah berusaha untuk datang memilih, tetapi KPU tidak memberikan kesempatan itu. Kalau kita memang enggak dikasih kesempatan memilih, buat apa kita memilih? Berarti inikan membuat Golput semakin tinggi,” kata Katrin
Keluhan yang sama juga dari Ibu Ririn (44), warga asal Riau, Sumatera. Ia menyesalkan KPU tidak mengakomodir dirinya sebagai perantau yang tinggal di Jakarta.
Ia tidak bisa pulang ke kampung halaman, dengan alasan tidak punya biaya membayar tiket pesawat yang mahal. Ia mempertanyakan kerja KPU selama ini, menyosialisasikan pada warga agar datang ke TPS memilih capres dan anggota legislatif. Namun saat gilirannya mengurus formulir pindah memilih di Jakarta, justru KPU membatasinya dengan macam aturan.
Jika terpaksa harus pulang kembali ke kampung halaman, apakah KPU mau membayar semua ongkos transportasi semua warga dari daerah yang tinggal di ibu kota tanya Ririn?
“Tolong dibantulah, biar bagaimanapun caranya supaya pada hari H nanti, agar kita tidak kehilangan hak untuk memilih. Dia (KPU) mau bayarin kalau kita pulang antar provinsi?” ujar Ririn