Jakarta, Lontar.id – Apa yang salah dari politik identitas? Setiap berbicara di mana saja, pada orang-orang yang menyimak Pilpres kali ini, sering kata-kata itu dilontarkan.
Salahkah politik identitas itu? Di Indonesia, identitas sudah sangat sering jadi penyelamat jika di rantau. Misal, kau orang dari Papua, dan kau menemukan orang dari Papua yang lain di sebuah kota, maka kau bisa langsung dekat dan akrab.
Kau juga bisa bertanya bagaimana kampung halam orang yang kautemui itu, dan kau juga bisa membeberi soal kampung halamanmu, berapa anakmu, istri suka masak apa, dan apakah tanahmu masih jadi tempat tumbuh tunas kelapa?
Soal Islam? Tidak masalah. Dalam Islam ada ukhuwah. Persaudaraan dalam iman. Misal, jika kau ingin berbuka puasa dan kau masih di jalanan karena terjebak macet. Kamu bisa singgah di sebuah masjid, dan berbuka di sana.
Saudara. Tidak ada yang melarangmu untuk makan dan berbuka. Kau akan dipersilakan. Begitu yang kualami sejauh mana saya memakai identitas kedaerah dan agama saya. Bukan untuk merendahkan yang lain. Bukan.
Mengapa hari-hari ini kita seakan takut sekali mendengar ceramah soal pilih memilih capres atau caleg? Haruskah politik dipisahkan dari identitas yang melekat pada kita?
Ini semuanya soal apa yang sudah melekat dari lahir. Metode itu terbilang efektif untuk membuat kita betah duduk mendengar wejangan. Percayalah. Saya sudah merasakannya. Baik pemberitahuan kalau ke sebuah tempat, kau harus menemui ini dan itu sebab ia sekampung denganmu. Itu realitanya.
Seakan-akan agama dan identitas adalah sebuah barang sakral dan suci yang tak bisa dicampur dengan janji politik. Tanpa identitas, politik tidak akan bisa berjalan. Rumah-rumah ibadah yang dibutuhkan, tidak akan terbangun. Semua adalah kerja politik.
Politik yang boleh datang ke agama, bukan agama yang boleh datang ke politik? Ya sama saja. Pemerintah dan tokoh agama saling membutuhkan. Tetapi ingat, tokoh agama lebih tinggi posisi moralnya. Ini berbicara soal moral.
Berbicara soal agama, memang sangat penting di Indonesia. Agama apa saja. Dari sana, kerap terjadi pertikaian. Sebab apa? Sebab agama itu penting dan dimanfaatkan dengan cara metode yang salah untuk membakar sentimen. Agama itu berbicara dari bawah tanah sampai lain dunia.
Kok ya tidak bisa bermain politik identitas? Mau dilepaskan bagaimana? Cuman karena hasrat politik, Anda mengharamkan gerakan politik identitas? Jadi biar perseorangan saja yang boleh bergerak? Sayangnya itu adalah teori usang. Di lapangan, bisa beda hasil. Baik Jokowi dan Prabowo buktinyua memainkannya.
Sekarang kita boleh tanya, adakah orangtua yang melahirkan kita harus datang meminta uang pada kita? Ini agak janggal. Seharusnya kita lah yang datang pada orangtua. Memberinya sedikit rezeki yang kita cari. Memang bukan kewajiban, tapi ini soal moral.
Itu identitas paling mendasar. Jangan karena politik, kita seakan tidak mengenal orangtua yang sudah melahirkan kita. Bekerja sebagai buruh kasar saja atau tidak bekerja, kita wajib memperhatikan keluarga, apalagi sebagai orang penting. Itu posisi moralnya. Sampai di sini paham?
Kepentingan tidak bisa dilepaskan dari identitas. Misal, saya berharap soal pembangunan ekonomi yang merata di sebuah daerah karena saya adalah masyarakat miskin papa. Saya punya kawan seorang politisi yang bisa membantu meperjuangkan harapanku. Posisinya sangat kuat dalam politik.
Lalu apa yang salah? Seakan-akan membawa politik identitas adalah sebuah dosa yang teramat besar. Identitas tak boleh disentuh dengan kepentingan-kepentingan yang merusak.
Yang salah, jika identitas mayoritas itu dipakai untuk menindas identitas minor lainnya. Susah juga berbicara jika orang-orang berpikir kalau identitas cuma agama saja.
Sekarang Prabowo Subianto, calon presiden Indonesia dari nomor urut 02, sedang disentimeni soal politik identitas. Ini bermuara dari Pilgub DKI Jakarta. Lalu menjalar ke politik paling tinggi lima tahunan.
Ustaz Abdul Somad, kemarin, bertemu dengan Prabowo Subianto. Mereka berdua berbincang selama 13 menit lebih lamanya. Tak ada hal-hal yang menegangkan dalam pembicaraan itu. Melainkan sebuah doa.
Apa yang ditakutkan dari Abdul Somad? Mengapa kita ini sering sekali menganggap kalau gerakan pertemuan itu mencemari sebuah agama yang sakral? Tidak usah takut, sebab ia bukan pemerintah yang berpengaruh dalam membuat aturan yang mengikat.
Sejujrunya, pikiran kita yang terbiasa tercemar, bukan agamanya. Mengapa selalu agama yang disalahkan? Beragama secara salah, bisa membuat kita menjadi brutal. Saya kira begitu.
Jika Prabowo naik dan menjadi presiden. Anda lalu berpikir kalau ini kemenangan agama tertentu? Terus kalau kemenangan politik identitas yang digaungkan, jadi berbahayakah Indonesia?
Itu pikiran yang picik. Seakan-akan politik identitas bisa merusak keutuhan persaudaraan yang sejak kecil kita bangun dalam nuansa yang terbiasa berbeda.
Setelah Abdul Somad, Prabowo bertemu lagi dengan Ustaz Adi Hidayat. Lagi-lagi ini disebut politik identitas. Prabowo cuma didoakan kok. Mengapa orang yang didoakan, malah kita yang menyebar muatan negatif?
Mengapa saya bilang jangan berpikir negatif, sebab pertanggungjawaban Prabowo bukan lagi pada rakyat, melainkan pada hari akhir. Dan dalam doa yang diminta Adi Hidayat, ia bisa bertanggung jawab di hadapan Tuhannya, kalau Prabowo khianat atau berhasil menjaga janjinya.
Saya kira setiap presiden berjanji seperti itu di ruang sepinya. Tidak usah terlalu takut dan berpikir macam-macam dengan dua orang di atas. Jokowi juga dekat dengan ustaz dan kalangan agamawan. Ia juga bermain identitas seperti Solo dan simbol Islam.
Tinggal mendengar doa siapa yang diijabah dari mereka. Keduanya orang baik. Pendoanya juga mustajab. Sekarang waktunya menunggu, siapa yang akan direstui Pemilik Dunia memimpin Indonesia. Begitu yang saya percaya. Jika tidak? Itu urusan Anda.