Jakarta, Lontar.id – Jika sudah kalah dari hasil quick count, mengapa Pak Prabowo Subianto harus mengklaim kemenangan pilpres 2019 dan sujud syukur? Siapa yang seharusnya dipercaya Pak? Metode lembaga survei kah atau ego Bapak sendiri?
Pak Prabowo, hari-hari ini sampai beberapa hari ke depan, kami semua akan terus bersitegang persoalan angka dan sihir-sihir yang tim Bapak anggap berada di televisi, yang bisa saja dikatrol oleh kekuatan modal.
Jujur saja, saya sama sekali tidak menyalahkan Bapak. Tidak. Saya cuma bertanya, untuk apa ekspresi berlebihan yang tim Bapak dan Bapak lakukan di Jalan Kertanegara? Saya benar-benar bingung, Pak.
Pada tahun 2014 lalu, sikap Bapak juga nyaris sama, menganggap hasil survei hitung cepat adalah sebuah hal yang lepe. Tidak bagus. Tidak elok. Pak, itu adalah sebuah hasil pikir, Pak. Lawan juga dengan hasil pikir dan jangan pakai prasangka.
Namun tunggu, Pak. Saya tahu, Bapak meng-counter-nya dengan hasil hitung cepat Bapak juga. Hasil yang dicari dan dikemas dari tim Bapak. Lalu percayakah Bapak, jika tim Bapak itu adalah penggeleng yang baik? Jangan sampai Bapak dibuat senang saja. Kerjanya cuma mengangguk.
Seandainya Bapak melakukan hal yang pernah dilakukan sebuah klub besar Indonesia, dari Sulawesi, yang pulaunya tak sebesar Jawa, namun masakan dan makanannya enak-enak, pasti Bapak melenggang gagah seperti ksatria di medan perang.
Pak, nama klub itu PSM Makassar. Timnya bagus, Pak. Bajunya juga bagus, berwarna merah. Tidak ada garudanya, melainkan hanya dijuluki ikan merah atau Juku Eja. Suporternya juga ramah-ramah dan pemarah jika mereka diusik.
Sudah beberapa musim, mereka menjadi tim yang hebat tapi tidak memanggul sebuah piala yang bergengsi, seperti sejarahnya pada beberapa tahun yang lalu. Tahun-tahun yang sangat jauh dari saat ini.
Para pendukungnya percaya, Pak. PSM adalah seorang juara dan petarung buat mereka. Mereka tak pernah lempar handuk. Jika kalah, mereka menerimanya. Kalau pun ada yang tidak menerima, adalah sebuah riak-riak dari suporternya. Kekuatannya kecil. Seperti buih.
“Maafkan, kami. Kita akan kembali musim depan, dengan skuat yang lebih kuat.”
Begitu kata Munafri, Pak, Ipar dari Erwin Aksa, istri dari Melinda Aksa Mahmud, setelah dipastikan tidak juara pada musim lalu, yang menempatkan Persija di urutan teratas dan menjadi kampiun. Andai Bapak banyak diskusi dengan Erwin, soal bagaimana Munafri itu tegak dan kokoh menerima kekalahan, meski…
Munafri menjanjikan perlawanan sengit. Setelah harus gugur dan menjauhi aroma pucuk Liga 1 pada penutup musim yang muram, beberapa waktu lalu, Pak.
Bapak tahu tidak? Kalau dulu, PSM, kata sebagian besar suporternya, sudah dicurangi. Apa buktinya? Lawan tandingnya itu, Pak, sudah ingin bertanding, malah jadwalnya diundur entah karena alasan apa. Tidak jelas juga.
Seperti terstruktur dan menghindari sesuatu. Inilah sebuah prasangka, Pak. Tidak ada data valid yang jelas. Saya lantas bilang, jika untuk menutupi prasangka, “oh, memang, PSM belum beruntung, padahal…”
Publik Makassar itu Pak, sudah sangat ingin juara. Semua hal sudah dilakukannya seperti membantu keuangan PSM, mengkritik kebijakan-kebijakan pelatih dan manajemen, sekaligus memberi masukan soal langkah apa yang sebaiknya dilakukan jika manajemen PSM sedang risau-risaunya.
Banyak tangisan yang harus mengikhlas sewaktu PSM gagal lagi. Gagal lagi. Pemain dan pendukung PSM, sama-sama emosionalnya. Apa makna tangisan itu? Cinta, Pak. Fanatisme. Kebanggaan, Pak.
Tetapi Munafri tidak menginstruksikan untuk menyerang regulasi PSSI. Munafri tak mau menjadi spekulan. Ia mengakui kekalahan timnya dan tak ingin lagi menyalahkan siapa-siapa, apalagi membawa prasangka yang bisa saja mempertebal agenda pembelahan dan pertempuran.
Saya tahu, banyak yang mencintai Bapak. Sangat banyak. Banyak sekali doa-doa yang mengiringi langkah Bapak sekarang. Apalagi, ustaz kondang Indonesia, seperti Abdul Somad dan Adi Hidayat, berada di samping Bapak.
Lalu…
Lalu mengapa Bapak tidak percaya dengan hasil sementara itu, Pak? Ini sekadar asumsi saya, Pak. Andai Bapak menenangkan publik Bapak dengan kalimat langsung dan tidak bersayap dengan segenap ketegasan Bapak yang semua orang sudah tahu.
“Kita menerima hitungan cepat ini. Kita menerimanya. Namun lebih baik, para pendukung kami, jangan patah hati dulu. Kita harus berjuang. Jangan berhenti. Kawal surat suara C1 dan tetap berdoa.”
Saya membayangkan, Bapak mengeluarkan titah seperti itu sembari memecahkan permasalahan yang Bapak alami. Biar apa, Pak? Biar pendukung Bapak tidak makin agresif dalam menuding pendukung lawan Bapak sedang bermain galah dalam negeri yang dipimpinnya.
“Saudara-saudara sekalian, ini kemenangan Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia. Dan saya katakan di sini, saya akan jadi presiden seluruh rakyat Indonesia.”
“Bagi saudara yang membela 01, tetap, kau akan saya bela. Saya akan dan sudah menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia. Kita akan bangun Indonesia yang menang, Indonesia yang adil makmur, Indonesia damai dan disegani seluruh dunia.”
Pekik takbir berkumandang saat itu, Pak. Tidak ada yang bisa sangkal bagaimana percaya dirinya, Bapak. Namun, tidakkah Bapak sadar, jika kalau klaim Bapak salah, maka akan banyak orang menilai Anda berlebihan?
Namun, apatah lagi gunanya kalau kalimat di atas sudah terucap? Kalau Bapak membacanya, anggap saja ini sekadar tulisan yang sia-sia. Tetapi percayalah, Pak, saya tetap hormat pada Bapak. Hormat setinggi-tingginya.
Saya sadari Bapak bukanlah sebuah klub, Bapak bukanlah sebuah agama yang harus dibela mati-matian saat diusik nilai-nilainya yang sudah wajib untuk dijalani. Sebab saya mencintai Bapak, makanya saya menjadi tukang kritik Bapak tanpa ada tendensi sama sekali.
Saya menyukai Bapak, karena Bapak adalah seorang teman dari sosok yang saya kagumi sampai sekarang, yakni Soe Hok Gie. Rasa-rasanya itu yang tidak dipunyai lawan tanding Bapak.
Ceritakan dan bekerjalah demi hal-hal yang besar untuk Negeri ini, Pak. Sebab saya tahu, Bapak adalah seorang pemikir yang kenyang dengan narasi brilian, dan memiliki pergaulan dari negeri yang suka perang sampai tingkat literasinya tinggi.
Indonesia bangga memiliki Bapak.