Lontar.id – Pemilu kita di Indonesia sangat melelahkan, menguras tenaga, waktu dan uang. Bagaimana tidak? Kampanye yang diselenggarakan secara serentak pertama kali ini, dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilihan Presiden, Calon Anggota Legislatif dan DPD.
Hari-hari menjelang pemilu dilaksanakan, warga diikutsertakan pada setiap momen kampanye. Tak peduli dia tukang becak, sopir mobil, pedagang keliling hingga penjual cilok turut diikutkan. Meski mereka punya tanggung jawab menafkahi keluarga kecil di rumah, tapi mereka rela tinggalkan sementara waktu, guna mengikuti kampanye.
Ada beragam alasan mengapa mereka ikut, mulai dari yang benar-benar mendukung agar jagoannya jadi pemenang, hingga yang mengharapkan adanya timbal balik atau dibayar. Pendukung jenis ini sudah jadi hal lumrah di setiap pemilu tiba, prinsipnya, kapan lagi bisa mengambil uang politisi kalau bukan di setiap pemilu.
Toh juga mereka berkeyakinan, politisi yang mereka perjuangkan dan menang, tidak mungkin akan kembali dan memberikan segopok uang atau pekerjaan layak. Jadi kesempatan tersebut dimanfaatkan, sedangkan politisi akan melakukan apa saja demi mendapatkan suara, termasuk dengan money politic.
Di sini ditemukan sebuah relevansi antara keduanya, politisi butuh suara sedangkan pemilih butuh uang. Maka terjadilah proses transaksi jual beli suara, ini bisa disebut sebagai hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) satu sama lain.
Kampanye dan hari pencoblosan telah usai dilakukan pada 17 April 2019 lalu, gegap gempita selama masa kampanye telah kita lalui dan masih banyak menyisahkan banyak persoalan. Terutama isu hoaks berseliweran di dunia maya hingga berujung pada saling lapor melapor ke polisi dan Bawaslu.
Lapor melapor di polisi bukan seperti bukan suatu yang baru di pemilu, hampir disetiap penyelenggaraan pemilu di Indonesia kerap diwarnai insiden laporan. Hal ini sudah jadi membudaya dalam orientasi politik kita saat ini, kebencian disulut fitnah dikembangbiakan ancaman penjara menghantui.
Seperti orang yang tidak dewasa menerima kekurangan, sedikit dikritik dianggap fitnah dan dijebloskan dalam sel tahanan. Mungkin ini namanya politik kekanak-kanakan.
*
Pada hari pencoblosan, presentasi suara kandidat sudah dapat diketahui lebih awal melalui rilis hasil hitungan cepat (quick qount) lembaga survei. Lembaga-lembaga survei yang selenggarakan quick qount memang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rata-rata lembaga survei menggunakan TPS sebagai sampel, berkisar diangka 2000 hingga 4000 TPS yang tersebar di seluruh Indonesia. Metode yang digunakannya beragama, ada yang menggunakan metode random sampling, systematic sampling, cluster sampling dan metode lainnya.
Jika merujuk pada hasil quick qount, maka pasangan calon presiden Jokowi-Ma’ruf unggul dalam perolehan suara mencapai 54 persen,
Sedangkan pasangan Prabowo-Sandi berada di angka 45 persen.
Hasil quick qount lembaga survei, tak begitu saja dipercaya dari kubu Prabowo-Sandi dan Badan Pemenangan Nasional (BPN). Sebab mereka dianggap punya relasi politik dengan kekuasaan hingga dituduh dibayar hanya untuk menggiring opini publik.
Tujuannya jelas, selain mempengaruhi warga, juga mempengaruhi hasil penghitungan KPU. Jika tujuannya mempengaruhi warga, maka quick qount sudah berhasil melakukannya, sebab di masyarakat saat ini terjadi perdebatan yang cukup sengit, antara yang percaya quick qount dengan tidak.
Mereka yang tidak percaya quick qount diwakili kubu Prabowo-Sandi, percaya hasil yang dijadikan sebagai patokan adalah lembaran formulir C1 yang didapatkan dari saksi-saksi di lapangan. Data tersebut memperlihatkan tidak berkorelasi dengan hasil quick qount, sebab C1 yang diklaim kubu Prabowo-Sandi, pihaknya yang menang dengan perolehan suara 62 persen.
Memang sulit dipercaya, bagaimana mungkin hasil quick count yang menggunakan sampel tidak mencapai setengah dari jumlah TPS bisa dipercayai. Sebab 2000 hingga 4000 TPS tidak mewakili jumlah keseluruhan 813.350 TPS yang tersebar di Indonesia. Meskipun lembaga survei menggunakan metode ilmiah, namun kita perlu untuk meragukan keabsahannya, tanpa meniadakan kerja mereka.
Lalu drama pun muncul, Prabowo-Sandi yang klaim menang melakukan deklarasi kemenangan, demikian dengan Jokowi-Ma’ruf juga mengklaim menang. Keduanya sama-sama klaim, soal siapa yang benar nanti akan ditentukan penyelenggara pemilu, biarkan politisi saling gontok-gontokan dan warga menikmati drama panjang ini.
Saya cenderung melihat berbeda dengan yang lain, bahwa Pilpres 2019 yang sebenarnya setelah usai pencoblosan dilakukan. Karena kita akan menyaksikan beragam masalah, mulai dari gugatan kecurangan di TPS hingga menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kejadian yang sama terjadi pada pemilu 2014 lalu, di mana Prabowo menggugat MK karena adanya dugaan kecurangan Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM).
**
Pemilu dalam artian yang sebenarnya bukanlah segala-galanya, melainkan sebuah ajang kompetensi pembuktian diri siapa yang layak dan tidak menduduki kursi kekuasaan. Tapi yang lebih penting lagi dari semua itu adalah warga negara tetap hidup rukun dan harmonis dalam suatu bingkai Bhineka Tunggal Ika dan ideologi Pancasila.
Jangan karena musim politik hubungan pertemanan, keluarga dan kelompok yang satu dengan yang lain bubar hanya karena perbedaan pandangan politik. Berbeda dalam hal pilihan itu wajar, karena Tuhan saja menciptakan manusia berbeda-beda, tentunya dengan pemikiran berbeda pula. Jadi wajar saja jika pilihan politik berlainan dan tidak boleh diartikan sebagai musuh yang harus dibasmi atau halal darahnya ditumpahkan.