Jakarta, Lontar.id – Rasa-rasanya membincangkan soal siapa yang kalah dan menang dalam Pilpres 2019, sudah banyak. Situasinya makin runyam, setelah banyak yang merecoki—yang menebar kabar bohong.
Pilpres 2019 ini dianggap adalah pilpres yang terburuk setelah reformasi. Bisa saja begitu. Saya tidak tahu benar, bagaimana buruk dan tidaknya sebuah pemilu. Toh, hasil dari pemilu itu pula yang harus disepakati.
Inti dari pemilu di Indonesia adalah kekuatan suara dari Jawa. Indonesia bukan Amerika. Kalau Jawa tidak bersuara, maka mungkin, ada kejadian yang luar biasa. Bayangkan saja kalau masyarakat di Jawa golput serentak dan enggan pergi mencoblos. Lebih memilih goleran dan leyeh-leyeh di kamar.
Saking berharganya suara Jawa, sejak beberapa tahun yang lalu, pembangunan infrastruktur mereka cukup baik dibandingkan provinsi-provinsi lain. Mereka adalah potensi dan modal besar untuk menentukan ambisi politik.
Jika masyarakat pulau Jawa mengancam golput dan berdemo memenuhi jalanan-jalanan yang besar di mana saja. Maka pejabat harus waspada, mereka harus paham bagaimana untuk menenangkan massa yang berjubel itu.
Misal mereka ingin membangun sebuah planet baru, sebut saja namanya Planet Namec, mau tidak mau, para pejabat mungkin akan berusaha menurutinya. Demi menjaga basis suaranya pada pemilu yang akan mendatang.
Ini hanyalah perandaian saja. Meski saya yakin, ini tidak benar-benar akan terjadi. Mengapa? Sebab tidak ada hitungan yang ilmiah. Asumsi-asumsi tanpa mengutarakan pandangan ilmiah, dalam zaman-zaman ini, adalah orang-orang yang ngawur.
Pemilu adalah pilu. Anggapan Wiji begitu. Banyak orang yang meninggal karenanya. Setidaknya ada beberapa catatan yang membuat terenyuh dan akhirnya kita menganggap, kalau seorang yang berkorban di pemilu adalah pahlawan.
Pahlawan rela meninggal. Tetapi apakah yang korban itu mau meninggal, demi nama menjaga surat suara di TPS? Berlelah-lelah. Berngantuk-ngantuk ria dan hanya diberi upah yang tidak seberapa? Jika iya, negara sudah punya andil dalam mangkatnya mereka.
Di Jawa Barat, tercatat ada 10 petugas KPPS yang meninggal saat maupun setelah menjalankan tugas. Sebagian besar mereka meninggal, disebabkan serangan jantung atau kelelahan.
“Ini laporan dari petugas KPPS dari lima kota-kabupaten,” ucap Ketua KPU Jabar, Rifqi Ali Mubarok di kantor KPU Jabar, Kota Bandung, Jawa Barat, dikutip dari Detik.
“Ada juga meninggal setelah menerima laporan surat suara kurang. Ini mungkin stres (jadi beban pikiran). Kami terima laporan ini mungkin jadi bahan evaluasi,” sambung Rifqi.
Mari main tebak-tebakan, sudah diupah berapa petugas KPPS itu untuk mengemban amanah yang berat? Seberapa besar anggaran pemerintah yang sudah keluar untuk mereka? Jahat sekali kita, jika memaksanya bekerja dengan tekanan yang berat, namun diupah. ya, begitulah…
Masih di Jawa Barat, di Kabupaten Bogor, ada 2 Ketua KPPS Pemilu 2019 yang meninggal diduga akibat kelelahan. Selain itu, empat ketua KPPS lainnya pingsan.
Selain itu, di Jawa Timur, hingga Sabtu (20/4) sore, ada 9 petugas yang meninggal dunia saat bertugas. Lima petugas KPPS, 2 petugas PPS, 1 petugas linmas, dan 1 petugas pembantu KPU. Alasannya sama.
Di Jawa Tengah, hingga Sabtu (20/4) sore, ada 8 KPPS dan petugas TPS yang meninggal usai kerja keras dalam masa pemilu. Masing-masing mereka bekerja di Kabupaten Demak, Banyumas, Sukoharjo, Banjarnegara dan Rembang.
Selain itu masih banyak lagi yang belum sempat saya catatkan di sini. Setelah kejadian itu, KPU angkat bicara dan menanggapi kalau pihaknya turut prihatin. KPU memastikan akan memberikan santunan kepada mereka.
Saya jadi ingat, sewaktu saya sakit dan kelelahan dalam bekerja, saya hanya diberi izin dan diberi kalimat prihatin seperti cepat sembuh. Mereka yang terdepan adalah keluarga, yang rela mengompres dahi saya yang panas dan menyuapi saya dengan obat.
Sekilas tidak ada yang salah. Saya butuh uang, memang, namun dipikir-pikir, saya lebih butuh keluarga dan orang-orang terdekat. Begitulah konsekuensinya. Saya protes bagaimanapun, kebijakan itu akan tetap jadi momok menakutkan buat para pekerja.
“Menurut kami mereka (petugas KPPS) pahlawan demokrasi yang kemudian nanti akan berikan penghargaan kepada mereka semua.”
Setelah orang meninggal, baru dibilang pahlawan. Baiklah. Ada penjahat dan ada pahlawan. Siapa yang jadi penjahat di sini? Pahlawan dalam arti KBBI, adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran
Siapa yang dibela? Diupahkah mereka seperti pahlawan sewaktu masih hidup? Jangan sampai, upahnya hanya bisa disamakan dengan seseorang, yang, begitulah…
“Ya bisa nanti orang sakit kita beri santunan, orang meninggal juga kita santuni,” kata Komisioner KPU Ilham Saputra, di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (19/4), masih dikutip dari Detik.
Setelah insiden itu, Ketua KPU, Arief Budiman mengatakan pihaknya bakal mengevaluasi diri agar kejadian ini tak terulang lagi. Dia mengakui pula, kalau beban kerja yang berat menjadi pemicu kelelahan.
“Memang pekerjaannya berat, memang pekerjaannya banyak, maka ya orang sangat mungkin kelelahan dalam menjalankan tugas,” sambungnya.
Arief mengatakan, sejak awal menyusun anggaran, KPU sebenarnya mengupayakan agar petugas KPPS bisa mendapatkan asuransi. Namun menurutnya karena sejumlah hal, keinginan tersebut belum bisa terwujud.
Ada santunan, saya kira, adalah satu bentuk untuk mengurangi beban keluarga yang ditinggalkan. Patut disyukuri. Dengan menyinggung soal anggaran, memangnya anggaran KPU terkuras di mana? Iklan visual di pinggir jalan? Atau apa?
Berapa gaji petinggi KPU yang per bulannya akan ia terima selama rentan waktu yang ditentukan konstitusi? Seberapa besar gaji dengan upah ‘pahlawan’ yang gugur, yang kelelahan itu? Saya hanya bertanya saja, tidak untuk menguggat.
Saya yakin banyak yang butuh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Jika suatu saat sudah terdengar jawaban yang rasional dari corong-corong KPU itu, dan mengecewakan, maka sebaiknya suara mayoritas harus berteriak pada pejabat-pejabat yang ia daulat. Jika belum kuat, seluruh rakyat di setiap provinsi bisa membantu suara di Jawa.
Bantu KPU untuk evaluasi kebijakan yang merugikan itu. Bantu mereka merumuskan kepada apa dan siapa seharusnya anggaran harus keluar banyak. Kepada korporasi kah atau bagian pengawal suara dan lainnya?
Jika ia tidak mau mendengar dan tidak mau mengevaluasi, sementara legislator yang memilih dia enggan tanggap, ya sudah, tidak masalah. Jika begitu, pemilu juga tidak pernah jadi hal yang serius yang senada dengan hasilnya, yakni, begitulah…
Seandainya kita menghabiskan suara dan berlelah jari meributkan para ‘pahlawan’ yang jadi tumbal kebijakan, di samping kita juga mengawal suara yang bisa saja ada siluman dalam kotak kardus itu. Jangan-jangan, tanpa kita sadari, kitalah penjahat itu? Penjahat yang membuat pahlawan itu harus berkorban.