Jakarta, Lontar.id – Selamat Hari Buku Sedunia. Saya sedang membaca dua buku bahkan lebih saat ini. Saya tidak tahu, ada berapa. Saya tidak menghitungnya, Tetapi saya pilihkan dua untuk menyinggung Pak Prabowo Subianto.
Pertama adalah Cinta Tak Ada Mati dari Eka Kurniawan. Dalam buku kumpulan cerpen ini, ada satu judul yang menarik yakni Bau Busuk. Bercerita tentang Halimunda dan orang-orang komunis kafir ateis yang mati bergelimpang di pinggir jalan.
Seperti kisah Pak Prabowo yang kerap diserang isu penculikan setiap lima tahunan, membuat saya berpikir jika isu itu semacam bau busuk yang dibawa angin laut ke Halimunda, dalam karangan Eka. Untuk mengingatkan seseorang, soal bau bangkai mayat seorang komunis.
Mayat itu sengaja tidak diambil. Ia dibiarkan begitu saja tergeletak, sampai dilindas mobil dan dagingnya melengket di ban, sampai hancur perlahan-lahan di rerumputan. Lalu baunya menguar, sampai meneror penduduk, seperti hantu. Tetapi tidak ada yang benar-benar peduli.
Isu penculikan adalah sebuah bau busuk. Lagi-lagi ia dibawa oleh sebuah angin laut, namun tidak ada yang pernah benar-benar peduli. Sama seperti isu setiap lima tahun, saat Bapak maju perhelatan Pilpres, isu itu menyeruak lagi.
Tidak ada yang berani menyentuh kasusnya. Semua cuman berani bersuara. Sebab menyentuhnya adalah najis dan bisa saja merusak iman yang kokoh. Lagipula, bau busuk itu tidak bisa disentuh dan diraba, melainkan hanya bisa dirasa saja. Dicium.
Tidak ada yang benar-benar paham soal isu ini. Ada korban, namun korban yang selamat, malah bergabung olehnya. Sebegitu cepatkah dendam luruh? Tidak dendamkah korban? Apakah karena kebaikan seorang penculik? Adakah penculik itu baik?
Sudah tiga kali Bapak maju dalam perhelatan Pilpres. Pertama bersama Megawati Soekarno Putri. Ia jadi wakil presiden saat itu, menantang SBY-JK, yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Tak ada isu penculikan ditiup.
Lalu Bapak akhirnya menerima kekalahan bersama Mega. Lalu tak lama Bapak maju lagi, setelah membangun sebuah partai. Melawan SBY untuk kedua kalinya, ia absen. Lalu muncul Jokowi setelah itu, setelah SBY melepaskan jabatan.
Isu penculikan lalu mencuat. Bermacam-macam media mengipasi seonggok bangkai busuk yang barangkali roh dari bangkai itu berbaris di depan pintu neraka. Mereka mengulasnya, tapi tak mampu membuat pejabat yang berhubungan dengan itu, mencokok Prabowo dari rumahnya, menggiringnya ke kantor polisi.
Setelah Jokowi menang, dan kekuasaannya akan dilepaskannya lagi. Bapak menantangnya lagi dengan seorang berwajah muda dan energik, Sandiaga Uno. Bangkai dikipasi lagi, bau busuk menyeruak, tetapi orang-orang sudah terbiasa dan tidak mau lagi peduli.
Menanggapi dan bertanya-tanya soal bangkai itu, ditakutkan akan membawa mereka ke tempat paling buruk yang pernah dibayangkan manusia penakut. Jatuhnya fitnah. Maka lebih baik diam, sebab mencium bau busuk adalah hal yang sudah lumrah. Orang-orang sudah kebal.
Buku kedua adalah Khotbah di Atas Bukit, karangan dari Kuntowijoyo. Saya pikir buku ini yang paling cocok untuk Pak Prabowo, apalagi setelah Bapak sujud syukur karena klaim kemenangan dan Bapak dianggap sebagai Presiden Jakarta Selatan.
Jika memang Pak Prabowo kalah pada Pilpres 2019, usai KPU memaparkan data real count resminya, maka sebaiknya Pak Prabowo membaca buku ini. Barangkali Bapak sudah membaca bukunya, sebab ini adalah karangan yang sudah cukup lama diterbitkan.
Saya membayangkan, di sebuah bukit, Pak, jika Bapak sudah benar-benar kalah, maka Bapak tinggal melihat sinar matahari dan danau yang berada tak jauh dari rumah Bapak.
Danau yang dalam dan berwarna hijau karena ganggang dan angker karena banyak mitos-mitos tentang seorang anak yang tewas tenggelam akibat mengabaikan pesan orangtuanya untuk tidak berenang menjelang Magrib.
Dalam buku karangan itu, Pak, Barman tua tinggal di sebuah villa yang ada kuda. Villa yang hijau dan lestari. Persis seperti Bapak, yang punya banyak hewan peliharaan dan peternakan besar.
Tenteram sekali hidup Bapak. Barman tua punya Popi. Bapak tidak. Takdir membuat hidup Bapak tanpa pasangan. Dan itu bukan sebuah olok-olok yang mesti didendangkan setiap lima tahun sekali. Itu mengerikan, dan terkesan menyerang pribadi.
Saya membayangkan, ada juga kolam renang di kediaman Bapak di atas sebuah bukit. Beda jauh seperti vila milik Barman tua. Bapak sudah kian tua, dan sebaiknya melihat begitu banyak mahakarya tanah Indonesia.
Di sebelah kolam renang itu, Bapak duduk sendiri memakai singlet kendor, kacamata hitam, dan celana pendek cokelat. Melihat matahari tenggelam ditelan danau tua yang hijau karena ganggang yang perlahan-perlahan berhenti menyinari rumput bukit yang menguning.
Teh hangat Bapak belum habis, sementara Bapak dengan bijak berpikir tentang bagaimana membangun Indonesia lebih baik dengan menjadi oposan. Membuat kebijakan dari Senayan, mengawal kebijakan pemerintah, dan menegur pemerintah kalau berbuat salah dalam memakai anggaran yang sangat banyak.
Daya pikir dan menyerang Bapak belum berubah dimakan waktu. Semakin tua, Bapak semakin rakus untuk membaca dan berpikir bagaimana membalas Indonesia yang sudah begitu banyak memberi Bapak kenikmatan dan rezeki.
Dari dalam, terdengar suara dari radio tua yang menyebarkan pesan-pesan moral dan khotbah pendek agar Bapak sendiri tabah dan ikhlas menerima semua keputusan yang diamanahkan kepada Bapak. Saya tahu Bapak orang yang baik. Bapak, saya percaya sama baiknya jika memimpin juga menjadi oposisi. Sebab kualitas Bapak yang berbicara.
Sekali lagi, selamat Hari Buku Sedunia, Pak. Bapak baca buku apa, hari ini?