Jakarta, Lontar.id – Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pemilu) 2019 menyisakan duka. Setidaknya lebih 100 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), anggota Polri hingga Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) meninggal dunia setelah tahapan pemungutan suara pada 17 April 2019. Mayoritas penyebab petugas kehilangan nyawa, karena kelelahan. KPPS berada di urutan pertama terbanyak jumlah korban meninggal dunia.
Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sampai Rabu (24/4/2019), sebanyak 883 anggota KPPS menderita sakit dan 144 orang meninggal selama pelaksanaan pemilu 2019. Jumlah ini ditambah anggota Polri dan Panwaslu.
Ibarat peribahasa “Nasi Sudah Menjadi Bubur”, bergugurannya para ‘pahlawan demokrasi’ itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Tentu saja, tingginya angka korban meninggal dunia itu tidak dapat dipandang sebelah mata.
Saya meminta penyelenggara pemilu untuk secara transparan mengumumkan kepada publik mengenai jumlah orang yang meninggal dunia saat bertugas akibat dari penyelenggaraan pemilu.
Saya sangat menyayangkan pernyataan anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, pada saat diwawancarai media massa, pada Rabu (24/4/2019), di mana dia mengungkapkan tidak ingin membesar-besarkan peristiwa wafatnya pejuang demokrasi.
Pernyataan itu justru bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan korban yang meninggal dunia saat mengawal pemilu sebagai pahlawan demokrasi.
Sudah seharusnya dan sepantasnya, seseorang yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berhasilnya penyelenggaraan pemilu diinformasikan kepada masyarakat.
Sehingga, masyarakat dapat mengetahui betapa berat menyelenggarakan pemilu di republik ini. Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan evaluasi penyelenggaraan pemilu.
Seharusnya, sebagai anggota Bawaslu RI yang notabene salah satu lembaga penyelenggara pemilu, Rahmat Bagja, mengumumkan ke publik upaya apa saja yang sudah dilakukan jajarannya dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi rakyat, UU itu memberikan jaminan kepada rakyat memperoleh informasi publik untuk meningkatkan peran aktif dalam penyelenggaraan negara baik pada tingkat pengawasan, pelaksanaan, dan penyelenggaraan negara maupun pada tingkat pelibatan selama proses pengambalian keputusan publik.
Penyelenggaraan Pemilihan Legislatif (Pileg) digelar secara bersamaan dengan pemilihan presiden (Pilpres) disebut-sebut sebagai alasan membuat petugas bekerja ekstra keras menyelenggarakan pesta demokrasi rakyat.
Sehingga, para petugas harus bekerja ekstra untuk mengawal mulai dari penyelenggaraan pemungutan suara, penghitungan suara, hingga melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara mulai dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, hingga ke tingkat nasional.
Penyelenggaraan pesta demokrasi rakyat yang digelar secara serentak antara Pileg dengan Pilpres memang membutuhkan tenaga ekstra. Namun, sudah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah bersama dengan penyelenggara pemilu untuk mengantisipasi hal tersebut sehingga pesta demokrasi rakyat berjalan lancar. Sehingga, bukan jadi alasan penyelenggaraan dua pemilihan secara bersamaan dapat menimbulkan korban jiwa.
Untuk diketahui, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai payung hukum landasan penyelenggaraan pemilu 2019 diterbitkan sejak 16 Agustus 2017. UU ini telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif. Artinya, pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu memahami konsekuensi digelarnya pemilu serentak.
Sudah seharusnya sejak UU Pemilu diterbitkan, pemerintah bersama dengan penyelenggara pemilu mempersiapkan pesta demokrasi rakyat selama lima tahunan itu secara maksimal.
Dalam hal ini, penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP memang merupakan lembaga pelaksana undang-undang. UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum menyebutkan tiga lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Lembaga itu dibentuk untuk menyelenggarakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.
Artinya, sejak awal ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu bertanggungjawab terhadap jalannya proses demokrasi rakyat. Sehingga, mereka seharusnya bertanggungjawab dan tidak menutup mata terhadap insiden ratusan orang meninggal dunia akibat penyelenggaraan pemilu.
Apalagi, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 24,8 triliun untuk mendukung pelaksanaan Pemilu 2019 sebagai bagian dari agenda demokrasi nasional. Dana sebesar ini seharusnya dapat dialokasikan secara merata sesuai dengan kebutuhan termasuk menunjang fasilitas kesehatan penyelenggara pemilu.
Di kesempatan ini, saya mengucapkan turut berbelasungkawa dan berduka cita kepada para ‘Pahlawan Demokrasi’. Semoga di kemudian hari peristiwa seperti pemilu ini tidak terjadi kembali. Dan, harapannya semoga penyelenggaraan pemilu dapat berlangsung lebih baik.
Penulis: Darmansyah, Pegiat Media Sosial