Lontar.id – Siapa yang tidak mengenal nama Aziz Qahhar Mudzakkar, ia adalah putra dari salah seorang pejuang Islam dari Tanah Luwu, Abdul Kahar Mudzakkar”. Sang tokoh legendaris yang diabadikan namanya atas jasanya menegakan Islam.
Abdul Kahar Mudzakkar sendiri adalah seorang tokoh pejuang yang menolak tunduk dan melawan pemerintahan Soekarno.
Berbekal bekas tentara gerilyawan ia mendirikan sebuah organisasi yang dikemudian hari sangat terkenal: Tentara Islam Indonesia (TII). Kemudian bergabung di Darul Islam (DI) pada perkembangan selanjutnya dikenal sebagai DI/TII.
Aziz Qahhar Mudzakkar punya riwayat keturunan seorang pejuang, ibunya Siti Habibah pada masa gerilyawan Kahar Mudzakkar merupakan panglima perangnya saat itu.
Berbekal nama besar keluarga, ustad dan pengalamannya sebagai seorang aktivis organisasi, Aziz Qahhar Mudzakkar mencoba mencari peruntungan lewat jalur politik.
Tak sulit baginya mendapatkan suara mayoritas pemilih, ia terpilih sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) selama tiga periode berturut-turut.
Aziz Qahhar Mudzakkar pertama terpilih pada periode 2004-2009. Lalu terpilih kembali pada 2009-2014 dan Yang cukup mengejutkan pada periode ketiganya 2014-2019 ia kembali terpilih dengan jumlah suara sebesar 1 juta.
Pada 2007 lalu tepat periode keduanya sebagai seorang Senator, ia memutuskan untuk maju sebagai calon wakil gubernur, mendampingi Mubyl Handaling. Namun nasibnya belum beruntung dan harus berbesar hati menerima kekalahan, setelah Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang dinyatakan sebagai pemenangnya.
Bagi Aziz Qahhar, mungkin kekalahan pertamanya bersama Mubyl Handali bukan akhir dari segalanya, sebab politik itu ibarat bola, kadang di atas kadang juga di bawah. Demikian, kalah dan menang itu hanya persoalan waktu dan nasib saja.
Jadi, pada pilkada selanjutnya tahun 2013. Aziz Qahhar tetap bersikeras maju, membayar kekalahan sebelumnya, meski maju hanya berpuas hati sebagai ban serep (wakil) saja. Ia maju bersama mantan Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.
Nasib putra Abdul Kahar Mudzakkar ini belum mujur, seperti meraih suara yang meloloskannya sebagai Senator. Tampaknya medan dan tantangan sebagai calon Senator dan gubernur, tidaklah sama.
Aziz boleh saja meraih suara yang signifikan pada pemilihan DPD RI, tapi urusan siapa yang akan jadi gubernur dan wakil gubernur, sepertinya orang Sulsel belum ingin menyerahkan ke dirinya. Ia kalah lagi melawan Syahrul dan Agus.
Tak cukup sampai di situ, petualangan politik Aziz Qahhar Mudzakkar yang ingin merasakan duduk di kursi kekuasaan belum berakhir. Pada pilkada 2018 lalu, Senator pemilik sejuta suara ini kembali maju sebagai calon wakil gubernur. Ia maju bersama Nurdin Halid, tapi lagi-lagi gagal.
Sepak terjang perjalanan politik Aziz Qahhar menjadi kepala daerah, sepertinya pupus setelah ia hetrik kekalahan. Terakhir ia dikalahkan oleh mantan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman.
Aziz Qahhar bukan sekadar sebagai seorang ustad, tapi merangkap sebagai politisi. Politisi tak akan pernah berhenti mengejar kursi kekuasaan sebelum berhasil menggapainya. Begitulah dengan Aziz Qahhar seorang politisi yang tak pernah surut karena kekalahan.
Pada pemilu serentak 2019, Aziz Qahhar kembali mencari peruntungan, dia maju sebagai calon legislator mewakili daerah pemilihan II dengan memperebutkan 9 kursi, lewat PAN.
Banyak orang memprediksikan Aziz Qahhar akan lolos di Pileg 2019, sebab 1 juta suara pada pemilihan legislatif 2014 lalu mengantarkan dirinya hetrik sebagai anggota Senator. Sekali lagi pertarungan sebagai kepala daerah DPD RI dan DPR RI sangat berbeda medannya.
Pemilihan DPD yang mewakili Sulawesi Selatan, tampaknya tidak terlalu sulit bagi Aziz. Sebab persaingan dengan sejumlah tokoh kenamaan di Sulsel tidak terlalu besar. Sehingga Aziz Qahhar hetrik sebagai Senator.
Berbeda dengan Pemilihan kepala daerah dan legislatif, persaingannya besar dan tensinya cukup tinggi. Karena tokoh masyarakat yang punya pengaruh secara jejaring politik dan kekuasaan ikut bermain.
Terlebih lagi dengan pemilihan legislatif, Aziz Qahhar tampak keok. Namanya tidak muncul sebagai pemilik suara terbanyak, justru nama Andi Yuliani Paris (56.720 suara) yang meraih suara terbanyak.
Jika merujuk pada perjalanan politik Aziz, pernah menjabat sebagai Senator tiga periode dan mantan calon wakil gubernur tiga kali, seharusnya ia tidak kesulitan mendapatkan suara menuju parlemen. Tapi pada kenyataannya ia habis juga.
Nasib sama juga dirasakan dua mantan kepala daerah dua periode, Sulsel Syahrul Yasin Limpo (NasDem) dan Agus Arifin Nu’mang (Gerindra). Mereka tak berkutik saat suaranya tidak cukup banyak, karena persaingan di dapil dua cukup besar.
Secara umum, pertarungan politik di legislatif tidak sekadar mengandalkan nama besar. Tapi banyak hal yang dijadikan penilaian oleh masyarakat, termasuk seberapa dekatkah Anda dengan pemilih, atau Anda datang ke mereka saat musim pemilu tiba setelah itu tak pernah datang lagi.
Masyarakat sudah cerdas memilih siapa yang tepat menjadi wakil-wakil mereka di Senayan.