Jakarta, Lontar.id – Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU RI telah mencapai 70,5 persen. Hingga Selasa (7/5/2019) malam, sekitar Pukul 23.00 WIB, sudah 573.780 dari jumlah 813.350 TPS di Indonesia yang rekapitulasi suaranya telah diinput di situng Pemilu2019.kpu.go.id.
Hasilnya, Capres-Cawapres 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) meraih suara sementara 60.815.198 (53 persen) atau unggul sekitar 13 juta lebih suara atas Capres-Cawapres 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno yang meraih 47.279.538 (43,74 persen).
Jika merujuk pada data situng KPU, maka peluang Prabowo-Sandi untuk menyalip Jokowi-Ma’ruf sudah sangat berat. Selain telah melampaui 50 persen perhitungan, selisih 13 juta suara dengan presentase 30 persen data tersisa membuat perolehan Capres 02 terpaut sekitar 16 persen.
Berbagai kesalahan input di situng KPU sendiri kerap menuai kritik dari kubu Capres 02. Kesalahan angka saat diinput di situng KPU kerap diprotes para tim sukses capres. Namun, hitungan situng KPU hanya merupakan pembanding data sementara dan bukanlah hasil resmi.
Proses perhitungan resmi KPU saat ini masih dilakukan secara manual dan berjenjang pada berbagai tingkatan hingga 22 Mei 2019 mendatang. Lantas kenapa C1 kerap menjadi masalah? Berikut analisa Direktur Lembaga Bantuan Teknis dan Manajemen Pemilu Nurani Strategic (NUSA), Nurmal Idrus yang juga mantan Ketua KPU Kota Makassar.
Lembaran Lusuh Pembawa Kisruh
Dalam tiga pekan pasca pemungutan suara Pemilu 2019 lalu, lembaran kertas berkode C1 yang gampang lusuh ini menjadi barang paling dicari di Indonesia. Menjadi masuk akal untuk dicari karena lembaran kertas ini menjadi penentu besaran perolehan suara baik capres dan juga caleg.
Pilihan-pilihan pemilih di lima kertas suara Pemilu di TPS oleh KPPS, dipindahkan menjadi catatan-catatan tulis tangan ke dalam formulir C1 ini. Kertas suara langsung menjadi barang tak berguna, ketika catatannya sudah dipindahkan ke C1, kecuali ada penghitungan suara ulang.
C1 sendiri terdiri dari dua bahagian penting. C1 Plano berukuran besar yang diisi dengan kode tally, ditempel dipapan penghitungan suara TPS, yang merupakan rekapitulasi perolehan suara. Dari C1 Plano berhologram ini, kemudian dipindahkan ke C1 yang lebih kecil berupa sertifikat perolehan suara beserta banyak lampirannya.
C1 Plano jumlahnya hanya satu lembar saja per parpol. Tak ada salinannya begitu juga kopiannya. C1 Plano ini juga disebut kitab rekapitulasi suara. Kertas ukuran plano yang lembarnya hingga maksimal 20 buah per TPS ini, dimasukkan ke dalam kotak suara yang selanjutnya dikirim ke PPK di kecamatan. Direkapitulasi suara di kecamatan, saat para pihak tak sepakat dengan hasil penghitungan di C1 kecil, maka C1 Plano ini menjadi penengah.
Tak ada yang bisa membantah angka apapun di C1 Plano sebab hanya satu buah. Namun, kisruh juga kadang terjadi ketika C1 Plano hilang di dalam kotak atau oleh KPPS yang tak paham dengan juknis menyimpannya di luar kotak saat dikirim ke kecamatan.
Sementara itu, berbeda dengan C1 Plano, C1 yang lebih kecil, mempunyai puluhan salinan. Dipegang oleh KPPS, PPS, KPU, para saksi dan panwas TPS serta C1 hologram yang berada di dalam kotak bersama C1 Plano.
Pertikaian di tingkat rekapitulasi kecamatan sering terjadi dan memperlambat rekapitulasi oleh karena C1 kecil ini. Karena banyak salinannya maka tak ada yang bisa menjamin ada tangan-tangan nakal yang mengutak-atik angkanya sebelum dibawa ke kecamatan.
Lalu, mengapa begitu sulitnya banyak pihak terutama caleg yang kesulitan mendapatkannya. Setelah saya analisis situasi terakhir di Pemilu 2019 ini maka saya menarik dua kesimpulan.
Pertama, kesalahannya ada pada penyelenggara yang mayoritas tak mempublikasikan C1 ini di tingkat TPS dan PPS. Padahal dalam UU 7/2017, KPPS wajib mencantumkan C1 di TPS pasca penghitungan selesai. Begitupula dengan PPS wajib menempelkan seluruh lembar C1 di wilayah desa nya di kantor desa/kelurahan.
Kondisi itu semakin diperparah karena sistem hitung cepat KPU yang dasarnya dari upload C1 yang dikirim langsung ke situs KPU, ternyata lembat, lemot dan tak berdaya.
Kedua, partai politik tak mampu mengkonsolidasi secara terpusat saksi-saksinya di lapangan. Saksi-saksi banyak yang tak menyetorkan lembar C1 yang dipegangnya langsung ke partai. Sebagian bahkan bermain dengan mengkopinya lebih banyak dan membagikannya kepada caleg dengan imbalan tertentu.
Ironisnya banyak juga ditemukan C1 dengan angka menipu alias palsu entah dari mana asalnya. Akibatnya banyak caleg yang mengeluh karena angka C1 yang dipegangnya berbeda dengan asil rekapitulasi di kecamatan.
Sungguh ini akan menjadi masalah berulang jika tak segera diatasi. Para pemangku kepentingan, para ahli pemilu dan semua yang berkepentingan harus kembali duduk bersama menyelesaikan persoalan berat ini.